Rizal Ramli: Jokowi-JK Harusnya Ubah Cara Pandang Persoalan BBM
Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), dianggap hanya berdampak kecil terhadap defisit APBN
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), dianggap hanya berdampak kecil terhadap defisit transaksi berjalan. Hal ini dikatakan oleh ekonom Rizal Ramli.
Rizal menegaskan, ada cara lebih cerdas dari sekadar menaikkan harga BBM. Ia juga mengungkapkan, ada sejumlah pertanyaan penting yang harus dijawab oleh Presiden Jokowi dan tim ekonomi di Kabinet Kerja sebelum memutuskan kenaikan harga BBM.
Misalnya, mengapa di saat harga minyak mentah dunia turun dari 110 dolar AS per barel menjadi 80 dolar AS per barrel, pemerintah kemudian berencana menaikkan BBM dalam negeri?
"Apakah adil menaikkan BBM, tetapi tidak berani memberantas mafia migas yang merugikan negara puluhan trilliun rupiah? Di masa kampanye lalu, Jokowi kerap katakan akan berantas segala macam mafia, termsuk mafia migas," tulis Rizal Ramli lewat akun Twitternya, @ramlirizal, Rabu (29/10/2014) malam.
Rizal Ramli juga mempertanyakan, apakah adil menaikkan harga BBM tapi tidak berani dan tidak bisa menekan biaya cost recovery yang merugikan negara lebih dari Rp 60 trilliun?
Apakah adil menaikkan harga BBM, sambung Rizal lagi, sementara negara membayar subsidi bunga obligasi BLBI Rp 60 trilliun per tahun kepada pemilik bank kaya sampai 20 tahun yang akan datang?
Rizal yang tak lain mantan Menko Perekonomian era pemerintahan Gus Dur ini yang kini bertugas sebagai Panel Ahli PBB itu kembali bertanya melalui akun twitternya, apakah adil menaikkan harga BBM, sementara pemerintah tidak melakukan langkah konkret.
Membangun fasilitas pengolahan yang dapat mengurangi biaya produksi BBM sebesar 50 persen, plus menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Rizal Ramli kemudian menyinggung tentang kemungkinan kenaikan harga tarif listrik dalam waktu dekat. Rizal Ramli kemudian menegaskan, salah urus PT PLN menjadi salah satu sebab penting di balik kenaikan harga tarif listrik.
"Kalau PLN menggunakan batubara sebagai sumber energi pembangkit listri, maka biaya produksi listrik hanya 6 sen per kW. Sementara, PLN merugi karena membeli, menyewa ratusan diesel yang boros solar sehingga harga produksi listrik naik menjadi 30 sen per kW," kata Rizal.
Ia kemudian menyimpulkan, jika ingin melakukan revolusi mental, maka seharusnya pemerintahan Jokowi-JK, ubah cara memandang persoalan BBM. Bukan sekadar melihat peroslan di hilir berupa harga BBM yang dinilai masih dapat dinaikkan.
"Lihat juga ke persoalan hulu yang berkaitan dengan penyebab krisis BBM di dalam negeri. Empat persoalan utama di sektor minyak dan gas. Mafia migas yang berpraktik bebas, KKN di kalangan pengusaha yang mendapatkan hak khusus dengan anasir di dalam tubuh pemerintahan, memiliki bentukan kepentingan dengan kebijakan umum di sektor migas," paparnya.
"Penyebab keempat, sambungnya adalah cost recovery BBM," tegas Rizal Ramli.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.