DPR Tandingan Merupakan Bentuk Reaksi Kemarahan terhadap UU MD3
Effendi Gazali menggaku tak bisa menebak apa maksud fraksi-fraksi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan membentuk pimpinan DPR RI.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia Effendi Gazali menggaku tak bisa menebak apa maksud fraksi-fraksi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan membentuk pimpinan DPR RI.
"Saya bingung, mungkin ini reaksi kemarahan banyak anggota DPR dari KIH akibat UU MD3, walaupun sebetulnya terminologinya sudah selesai," kata Effendi kepada Tribunnews.com, Senin (3/11/2014). (baca juga: Jokowi Hormati Putusan MK Soal Uji Materil UU MD3)
Dirinya menyebutkan, keributan antara dua kubu di parlemen itu sempat mereda saat Prabowo dan Jokowi bertemu pada Jumat (17/10/2014) lalu. Namun setelah pelantikan Presiden Jokowi, DPR kembali berseteru.
"Solusinya ya harus paham itu inkonstitusional, kita harus berpikir semata-mata untuk kepentingan publik saja. Apa yang baik bagi publik jangan takut," katanya.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Fraksi Nasdem, Vicktor Laiskodat meminta Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu Undang-undang MD3. Hal itu untuk pilih kembali pimpinan DPR.
"Dan seluruh komisi yang terbentuk tak usah diakui karena menyalahi Tatib. Pemerintah kami minta keluarkan Perppu MD3 agar DPR kembali dipimpin yang layak. Agar dewan dapat kehormatan," kata Vicktor Laiskodat dalam konferensi pers KIH di DPR RI, Jakarta, Rabu (29/10).
Soal dasar hukum penerbitan Perppu, Juru bicara KIH dari Fraksi PDI Perjuangan, Arif Wibowo, mengatakan bahwa dalam UU MD3 saat ini banyak hal yang harus dipertanyakan. Apalagi proses yang dilakukan dalam pembahasannya bersifat otoriter.
"Jadi undang-undang (MD3) yang berlaku sekarang, undang-undang yang didesain melahirkan kediktatoran mayoritas. Kita ingin DPR jadi lembaga yang demokratis yang diperlakukan sebagai sebuah tempat bersama bagi seluruh partai yang lolos parlementary threshold dalam pemilu," ujar Arif.
Karena itu, KIH menginginkan prinsip kepemimpinan DPR mencerminkan proprosionalitas kedilan. Sikap KIH ini, tegas Arif, bukan untuk sebuah kedudukan, tapi soal bagaimana kekuasaan di DPR digunakan.
"Kalau penggunaan palu simbol kekuasaan dipukulkan untuk jegal pemerintahan, tentu rakyatlah yang dirugikan. Jadi bukan soal kedudukan status tapi soal menjaga palu demokrasi bisa berlangsung tegak lurus sebagaimana yang sudah berlangsung terutama sejak reformasi," katanya.