Jalan Terjal Akil Mochtar Menuju Penjara Seumur Hidup
Akil Mochtar, akhirnya terpaksa mengamini keputusan hukum yang mengharuskan dirinya mendekam di dalam terungku seumur hidup.
Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, akhirnya terpaksa mengamini keputusan hukum yang mengharuskan dirinya mendekam di dalam terungku seumur hidup.
Itu setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Selasa (25/11/2014), menolak banding Akil dan menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dijatuhkan sebelumnya, yakni penjara seumur hidup.
Akil, kekinian mungkin masih tak memercayai karier cemerlangnya sebagai politikus dan penegak hukum sirna tak berbekas dan harus menghabiskan sisa hidupnya di balik teralis besi negara.
Jalan terjal nan beraral dalam kehidupan Akil, dimulai ketika doktor lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung ini didaulat menjadi Ketua MK, April 2013. Ia merupakan suksesor dari koleganya, Mahfud MD.
Kalau ia tak tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, Akil bisa menikmati kewibawaannya sebagai ketua MK hingga 2016.
Namun, guratan takdir berkata lain, Akil dibekuk komisi anti-rasuah di rumah dinasnya, Jalan Widya Chandra III Nomor 7, Jakarta Selatan, Rabu (2/10/2013) malam.
Menurut pengakuan resmi KPK, pria kelahiran Putussibau, Kalimantan Barat 18 Oktober 1960, itu kuat diduga menerima uang suap terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Belakangan, Akil juga diduga menerima suap terkait pilkada di banyak daerah.
Karena kasus tersebut, Akil dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (16/6/2014), diutuntut pidana penjara seumur hidup. Ia juga dituntut membayar denda Rp 10 miliar.
Selang dua pekan setelahnya, Senin (30/6/2014), majelis hakim benar-benar membuat keputusan yang membuat Akil merana, yakni dipenjara seumur hidup.
Namun, Akil tak berputusa asa. Ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tapi sial, dia lagi-lagi harus menerima pil pahit, sebab hakim justru menguatkan keputusan sebelumnya.