Greenpeace Beberkan Skandal Perusahaan Tambang Batubara Racuni Penduduk
Seluruh sampel yang diambil juga terdeteksi mengandung konsentrasi logam berat.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Greenpeace membeberkan hasil investigasinya mengenai 'skandal' perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan.
Dalam laporannya berjudul "Tambang Batubara Meracuni Air di Kalimantan Selatan", itu terungkap bahwa aktivitas perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang luas di Kalimantan Selatan selama ini ternyata telah merusak sumber air masyarakat setempat. Sehingga menimbulkan bahaya kesehatan di masa mendatang.
Investigasi Greenpeace sendiri dilakukan selama kurang lebih enam bulan. Dari hasil didapat tim juga menemukan bukti kuat kalau perusahaan-perusahaan tambang batubara di Kalsel itu telah menggelontorkan limbah berbahaya ke dalam sungai dan sumber-sumber air masyarakat, serta melanggar standar nasional untuk pembuangan limbah di pertambangan.
"Ini masalah serius yang harus segera diatasi. Sepertiga wilayah Kalimantan Selatan telah menjadi wilayah tambang batubara. Badan Lingkungan Hidup setempat telah gagal menghentikan atau mencegah pelanggaran. Karena jumlah pertambangan batubara sangat banyak, hampir setengah dari jumlah sungai di Kalimantan Selatan berisiko terpapar dampak pencemaran air dari pertambangan," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Arif Fiyanto, Rabu (3/12/2014).
Dalam laporannya, lanjut Arif, tercatat bahwa 22 dari 29 sample yang diambil Greenpeace dari kolam penampungan limbah dan lubang-lubang bekas tambang dari lima konsesi tambang batubara di Kalsel, ditemukan memiliki derajat keasaman (pH) yang sangat rendah.
Jauh di bawah standar yang ditetapkan pemerintah. Lalu seluruh sampel, bahkan 18 di antaranya memiliki derajat keasaman (pH) di bawah 4. Seluruh sampel yang diambil juga terdeteksi mengandung konsentrasi logam berat.
Menurut Arif, kebocoran dan potensi melimpahnya air dari kolam-kolam yang terkontaminasi limbah berbahaya di konsesi pertambangan batubara menimbulkan bahaya pada rawa-rawa, anak sungai dan sungai di sekitarnya.
"Greenpeace yakin terdapat bahaya yang nyata dari limbah berbahaya yang dilepaskan perusahaan pertambangan ke badan-badan air dan lingkungan di sekitar konsesinya," ujarnya.
"Mungkin, ketika laporan ini dibaca, masyarakat di sekitar konsesi pertambangan batubara sedang menggunakan air yang berpotensi tercemari limbah berbahaya untuk mandi, mencuci dan mengairi lahan pertanian mereka. Risiko yang mereka hadapi sangat tidak bisa diterima," sambungnya.
Terkait hal ini, Greenpeace mengeluarkan beberapa rekomendasi dan tuntutan. Pertama, perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang meraup untung dari aktivitas pertambangan yang kotor dan ilegal ini, harus bertanggung jawab secara hukum dan moral untuk memulihkan lingkungan dari aktivitas ilegal mereka, untuk mengurangi limbah dari badan-badan air, atau izin dari perusahaan tersebut harus dicabut.
Kedua, perusahaan yang terbukti melanggar hukum harus bertanggung jawab membiayai operasi pembersihan, bahkan jika ijin pertambangan mereka sudah selesai atau dicabut, karena masalah air asam tambang akan bertahan selama beberapa dekade. Pemerintah tidak boleh memberi perusahaan pertambangan batubara "izin untuk meracuni" lingkungan dan masyarakat Kalimantan Selatan.
Ketiga, Otoritas pemerintahan yang terkait harus memantau dan melakukan investigasi secara lebih mendalam perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang melanggar standard nasional, dan mencemari lingkungan. Penegakan hukum harus diperketat, sanksi harus dipertegas, dan celah-celah regulasi harus ditutup.
"Masyarakat Kalimantan Selatan layak mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan, masa depan yang sehat dan lebih cerah dengan akses air bersih untuk mereka dan anak cucu mereka," imbuh Arif.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.