Junimart Minta Ketua MA Evaluasi Surat Edarannya
Sebagai Anggota Komisi III DPR RI, saya meminta Ketua Mahkamah Agung untuk mengevaluasi surat edarannya itu
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum Dr Junimart Girsang, SH, MBA, MH menegaskan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 2014, tentang pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Menurutnya, itu bukan merupakan norma hukum yang tidak boleh mengenyampingkan keberadaan putusan yang diatasnya, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34 tanggal 6 Maret 2014 yang telah membatalkan Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang menyatakan: “Upaya hukum PK hanya boleh diajukan satu kali.”
Junimart Girsang yang juga Anggota Komisi III DPR RI, membidangi hukum menjelaskan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (KUHAP), adalah dasar Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengeksekusi keputusan pengadilan yang sudah Inkrach sepanjang pasal-pasal dalam KUHAP tersebut belum dibatalkan atau dicabut oleh MK.
"Sebagai Anggota Komisi III DPR RI, saya meminta Ketua Mahkamah Agung untuk mengevaluasi surat edarannya itu, dan untuk tidak menjalankannya. Tatanan hukum rusak jadinya apabila SEMA bisa meniadakan keputusan MK," ujar Junimart Girsang, politisi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Rabu (7/1/2015).
Menurut jebolan Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan ini, norma hukum tunggal yang berlaku untuk upaya hukum luar biasa, yang dikenal dengan Peninjauan Kembali (PK), dalam perkara pidana diatur pada Pasal 268 ayat 3 KUHAP, yang nyata-nyata pasal tersebut sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya pengajuan upaya hukum luar biasa (PK) dapat diajukan lebih dari satu kali.
Disebutkan, apabila alasan MA sebagai dasar penerbitan SEMA tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum, justru menurut wakil rakyat dari daerah pemilihan Sumut III ini, SEMA tersebut sudah melanggar hukum karena bertentangan dengan hirarki perundang-undangan atau peraturan.
Junimart Girsang mempertanyakan, bagaimana mungkin kepastian hukum bisa diajukan dengan cara melanggar hukum, karena yang disebut dengan kepastian hukum itu senyata, dan sebenarnya ditujukan bagi terpidana untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya agar jangan sampai terjadi “error in persona”.
" Kita tidak mau terulang kembali musibah dalam penegakan hukum seperti perkara Sengkon dan Karta, " ujar Junimart Girsang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.