Kesalahan Orangtua Memaksakan Pilihan Program Studi, Padahal yang Kuliah Anaknya
Anak sering kali mengikuti kehendak orangtua, padahal yang kuliah anaknya.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Sebagai orangtua yang anaknya hendak mulai kuliah, mereka dihadap-kan pada keraguan, kecemasan, dan kegalauan bercampur harapan.
Situasi macam itu tidak hanya dialami oleh orangtua, tetapi juga anak yang akan menjalani kuliah dan kehidupan berikutnya.
Keraguan pertama adalah memilih program studi (prodi) apa, di perguruan tinggi mana, dan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan setiap tahun. Anak juga runyam pikirannya. Apakah nanti bisa mengikuti mata kuliah program studi? Ini persoalan tersendiri. Ada kalanya pemilihan prodi itu kemauan orangtua, bukan pilihan anak.
Anak sering kali mengikuti kehendak orangtua, padahal yang kuliah anaknya. Untuk memahami anak, orangtua mesti tahu kemampuan akademik anak yang tercatat dalam rapor, mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Orangtua semestinya tidak hanya semata-mata mengejar bayangan harapan akan menjadi apa setelah anak lulus dari program studi yang dipilihnya, tetapi juga mesti berpikir realistis akan potensi akademik anaknya.
Situasi galau orangtua dan anaknya wajar saja. Ibaratnya orangtua hendak melepas anak panah dari busurnya, hendak diarahkan ke mana. Setelah anak panah dilepas, akankah ber- temu titik sasaran? Nasib anak panah yang terlepas dari busur pun masih dipikirkan orangtua. Padahal, tidak ada orang yang mampu membimbing anak panah setelah lepas dari busur.
Memilih program studi bisa diibaratkan juga memilih jalur kehidupan dalam mencari nafkah, memilih spesialisasi keilmuan, dan memilih profesi. Maka, itulah yang menjadi alasan mengapa orangtua bingung.
Itu wajar karena program studi menentukan masa depan anak, menentukan karier anak, dan bahkan memilih program studi, awal anak memulai kariernya. Walau demikian, banyak orang yang menekuni pekerjaan di luar jurusan atau bidang program studi yang pernah diambil di perguruan tinggi. Toh, banyak mereka yang bahagia dan sukses bekerja di luar jalur bidang studi.
Banyaknya program studi tertentu di perguruan tinggi swasta merupakan gambaran banyaknya minat masyarakat memilih program studi itu, dengan harapan para mahasiswa yang lulus akan mendapat pekerjaan seperti yang sudah dibayangkan orangtua mereka.
Namun, orangtua juga perlu tahu pasar tenaga kerja di bidang tertentu dan jumlah tenaga kerja yang sudah disiapkan perguruan tinggi melalui program studi yang dibukanya. Kalau terlalu banyak perguruan tinggi membuka prodi tertentu, jumlah tenaga yang tersedia akan membeludak. Ujung-ujungnya tidak terserap di bursa kerja dan menganggur. Bahagiakah orangtua?
Ini belum menyangkut kualitas lulusan perguruan tinggi yang memiliki tenaga pendidik mumpuni, ditunjang laboratorium terbaru. Mengapa harus terbaru, karena yang ditangani dunia kerja bukan kebutuhan masyarakat yang lampau, melainkan masyarakat kini dengan kondisi baru.
Banyaknya prodi perguruan tinggi, seperti kesehatan (kebidanan dan keperawatan), membuat pemerintah galau. Apakah lulusannya dapat diandalkan dalam bekerja profesional atau asal-asalan? Kalau asal-asalan, korbannya tentu masyarakat.
Pemerintah harus turun tangan membenahi kualitas prodi sekaligus mengaudit prodi yang sudah ada. Juga sekalian menyerap minat masyarakat terhadap prodi dan memetakan kebutuhan pasar tenaga kerja. Tentu ini dikerjakan secara sinergi antarkementerian. (Mohammad Nasir)