100 Hari Pertama Jokowi, Fadly Zon: Lebih Banyak Menyengsarakan daripada Menyejahterakan
Partai Gerindra menilai, 100 hari pertama Jokowi berkuasa lebih semerbak 'political entertainment.'
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Banyak janji kampanye Presiden Joko Widodo yang masih belum terealisasi dalam 100 hari pertama masa kerjanya. Jokowi bahkan cenderung menonjolkan political entertaining daripada merealisasikan janji kampanyenya kepada masyarakat.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, terkait masa tugas Jokowi yang telah berjalan selama 100 hari pada hari ini. Jokowi dan jajaran menteri di Kabinet Kerja belum dapat mewujudkan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat. Banyak kebijakan Jokowi yang justru bertolak belakang dengan realisasi janjinya untuk mensejahterakan rakyat itu.
"Belum bisa mengarahkan rakyat pada satu roadmap yang kelihatannya akan memperbaiki kehidupan masyarakat. Bahkan, lebih banyak menyengsarakan daripada menyejahterakan," ujar Fadli di Kompleks Gedung Parlemen, Selasa (27/1/2015)..
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu mencontohkan beberapa kebijakan Jokowi yang dianggap menyengsarakan, antara lain kenaikan harga bahan bakar minyak, kenaikan harga gas elpiji, hingga kenaikan tarif dasar listrik. Ekses atas sejumlah kenaikan harga tersebut adalah kenaikan harga kebutuhan bahan pokok masyarakat. Meskipun kini, Jokowi telah mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan harga BBM, tetapi hal tersebut tidak serta-merta diikuti dengan penurunan harga kebutuhan bahan pokok.
Fadli mengingatkan agar Jokowi dan para pembantunya tidak terlalu banyak memberikan janji kepada masyarakat. Apalagi jika janji yang diberikan cukup sulit direalisasikan. Menurut Fadli, Jokowi seharusnya mulai mengatur ritme untuk mewujudkan setiap janjinya itu.
"Janjinya banyak ya, seperti membuat 50.000 puskesmas, pelabuhan, dan lain-lain. Aduh, banyak alasan, realisasinya belum. Karena memang baru 100 hari, tapi ke arah situ (pembahasan dengan DPR) juga masih entertaining. Ini political entertainment-nya tinggi," ujarnya.
Komunikasi dengan DPR membaik
Di masa awal pemerintahan Jokowi, sempat ada jarak antara eksekutif dan legislatif. Hal itu tidak terlepas dari perselisihan antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam perebutan kursi kepemimpinan di DPR. KIH yang keluar sebagai pemenang saat pemilu merasa memiliki hak untuk memimpin DPR. Namun, lantaran adanya perubahan aturan dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), KMP akhirnya menguasai parlemen.
Jokowi melalui Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto lantas menerbitkan surat edaran yang berisi imbauan agar para menteri Kabinet Kerja tidak memenuhi undangan rapat dengar pendapat (RDP) maupun rapat kerja sementara waktu dengan DPR. Saat itu, alasan yang digunakan yakni pemerintah menunggu situasi di parlemen kondusif.
"Itu fungsional. Pada awalnya kurang mulus karena ada tindakan inkonstitusional," kata Fadli.
Namun, setelah UU MD3 direvisi dan terdapat penambahan kursi pimpinan di DPR, aura perdamaian antara KIH dan KMP pun muncul. Perdamaian itu semakin mengemuka, mana kala KMP memberikan 16 kursi pimpinan pada alat kelengkapan dewan kepada KIH. Setelah konflik di parlemen meredam, pemerintah kini mulai giat menjalankan RDP dan raker dengan DPR.
"Sekarang sudah baik, sudah sangat komunikatif. Kerja sama dengan kewenangan masing-masing juga baik," ujar Fadli. (Dani Prabowo)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.