Tak Lantik Budi Gunawan, Jokowi Tak Lakukan Pelanggaran Berat
Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, Presiden Joko Widodo tidak bisa dimakzulkan hanya karena tidak melantik Budi Gunawan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, Presiden Joko Widodo tidak bisa dimakzulkan hanya karena tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI. Menurut Refly, Presiden tidak melakukan pelanggaran berat yang menjadi syarat impeachment atau pemakzulan jika tidak melantik calon Kapolri yang lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
"Kan jelas impeachment itu melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan kepada negara. Syarat lainnya pernah menjadi warga negara lain atas kehendaknya sendiri dan melakukan penghianatan terhadap negara," kata Refly, di Jakarta, Minggu (1/2/2015).
Kondisi lain yang memungkinkan pemakzulan adalah jika Jokowi melakukan perbuatan tercela, menerima suap, atau melakukan tindak pidana korupsi lainnya.
"Kita bisa berdebat, mana yang lebih tercela, angkat atau tidak angkat Kapolri? Kalau kita melihat kemungkinan impeachment itu terlalu jauh," sambung Refly.
Menurut dia, Jokowi bisa mengajukan calon Kapolri baru meski pun Budi sudah lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR sepanjang alasannya bisa dipertanggung jawabkan. Pemilihan Kapolri, kata Refly, merupakan hak subyektif presiden.
"Masih ada ruang bagi presiden ganti calon yang di fit and proper dengan alasan dipertanggung jawabkan. Misalnya yang bersangkutan ketahuan selingkuh, masak presiden tidak bisa cari gantinya?" kata Refly.
Ia menyebut, ada empat kategori pejabat yang harus diangkat presiden. Pertama, pejabat yang ditunjuk presiden tanpa bantuan institusi lain, yakni menteri kabinet. Dalam proses pemilihan menteri kabinet, kata Refly, presiden punya kewenangan 1000 persen untuk mengangkat menteri. Kedua, pejabat selevel menteri yang dipilih presiden dengan harus melakukan konfirmasi kepada DPR, seperti Kapolri dan Panglima TNI.
Refly menilai, untuk dua kategori pejabat di atas, terbuka ruang bagi Presiden untuk menggantinya meski pun sudah disetujui DPR.
"Kalau dia tidak melantik, maka harus ajukan calon Kapolri baru, dengan proses transparan, akuntabel, mencari orang yang relatif tidak bermasalah, terutama terlibat dugaan korupsi, setelah itu ajukan lagi ke DPR, maka biarkan DPR setuju atau tidak setujui, maka selesai permainan ini," kata Refly.
Hal ini berbeda dengan proses pemilihan pejabat kategori ketiga dan keempat. Ada pun, pejabat kategori ketiga adalah pejabat lembaga publik yang dipilih melalui tim seleksi seperti komisioner Komisi Pemilihan Umum, petinggi Badan Pengawas Pemilihan Umum, atau pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam hal ini, menurut Refly, presiden tidak bisa mengganti calon pejabat yang sudah diajukan panitia seleksi kepadanya. Demikian juga dalam pemilihan pejabat kategori keempat yang merupakan hasil seleksi lembaga lain yang diajukan kepada presiden dan presiden harus menerbitkan keputusan presiden atas penunjukkan pejabat seleksi lembaga lain tersebut.
"Contohnya pemilihan hakim agung, hakim konstitusi. Saya anggap jenis ketiga dan keempat ini tidak punya hak ganti calon yang baru. Kalau berasal dari tim seleksi, dia tidak punya lagi subjektivitas, kalau dari lembaga lain dia juga tidak punya hak subjektif," ujar Refly.(Icha Rastika)