Membaca Konstruksi Simbolik Jokowi
Sebagai gebrakan awal, pemerintahan Jokowi cukup berhasil menarik perhatian masyarakat.
Editor: Hasanudin Aco
Jika mempelajari tindakan-tindakan politik Jokowi dalam rentang yang cukup panjang, sebetulnya sulit untuk mengatakan figur kepemimpinannya mudah dikendalikan oleh partai politik. Independensinya dalam mengambil langkah politik dan kebijakan, adalah sisi yang justru melambungkan namanya. Namun, independensi itu tampaknya harus diuji lewat penunjukan Prasetyo sebagai Jaksa Agung dan pemilihan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri.
Prasetyo adalah politisi Partai Nasdem. Ia menduduki posisi Jaksa Agung, mengalahkan nominasi sejumlah kandidat dari kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta figur lain di luar parpol. Namun, penunjukannya menimbulkan polemik adanya kepentingan partai dalam mengatur masalah hukum.
Polemik terbesar adalah langkah Presiden dalam pemilihan calon Kapolri. Rencana penggantian Jenderal Polisi Sutarman yang baru akan pensiun pada Oktober 2015, cukup menimbulkan tanda tanya. Terlebih, ketika kemudian Presiden mengusulkan Budi Gunawan, mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri, sebagai calon tunggal Kapolri kepada DPR tanpa melewati penilaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah KPK yang kemudian menjadikan Budi sebagai tersangka korupsi, tiga hari setelah diusulkan oleh Presiden, menimbulkan polemik berkepanjangan, terlebih ketika kemudian DPR meloloskan Budi dari uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon kepala Polri.
Jika dilihat dari latar belakang Budi yang lebih dekat kepada figur Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, maka diduga ada kepentingan partai dan rezim dalam penunjukan kepala Polri.
Sebagaimana diketahui, baik di rezim pemerintahan Megawati maupun rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pernah muncul persoalan yang belum seluruhnya tuntas hingga saat ini. Saat pemerintahan Megawati, ada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Sementara itu, di pemerintahan Yudhoyono, muncul persoalan terkait pemberian dana talangan untuk Bank Century serta kasus Hambalang. Kepala Polri menjadi jabatan yang strategis untuk turut menentukan arah penuntasan kasus-kasus itu.
Meski demikian, kepolisian tak bisa berdiri sendiri. Ada pilar hukum lainnya seperti KPK dan kejaksaan. Selama ini, KPK menjadi lembaga yang dinilai baik oleh 88,5 persen responden survei. Dengan tingkat kepercayaan yang sebesar itu, nyaris sulit memberi pengaruh pada independensi KPK, kecuali lembaga ini melakukan blunder sendiri.
Akhirnya, jika yang dilihat adalah upaya rekonstruksi pada tatanan kelembagaan, menarik melihat yang ditulis Jokowi di laman Facebook-nya, "Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti…," Makna dari kalimat ini adalah segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.
Kalimat di laman Facebook-nya itu, patut diduga gambaran dari upaya Jokowi untuk menahan ego kelembagaan seperti yang tengah terjadi antara Polri dan KPK. Dengan langkah itu, lebih mudah bagi Jokowi untuk mengonstruksikan visinya. (Litbang Kompas)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.