Harusnya BG Buktikan Sangkaan KPK di Persidangan Umum, Bukan di Sidang Praperadilan
Harusnya kubu Budi Gunawan membuktikan sangkaan KPK di persidangan umum. Bukan dalam sidang praperadilan.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Jaksa, Ferdinand Andi Lohlo menganggap saat ini masih banyak masyarakat yang keliru dengan konsep praperadilan.
Padahal, kata dia, praperadilan itu merupakan wewenang khusus dan limitatif Pengadilan Negeri untuk mendengar dan memutuskan, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, sah atau tidaknya penyidikan, penuntutan, dan mekanisme yang dapat ditempuh untuk meminta ganti rugi atau rehabilitasi.
"Proses praperadilan itu sendiri proses yang sangat sederhana, jadi jangan dipolitisasi dan dibuat rumit, seolah-olah besarannya sama dengan persidangan yang membahas pokok perkara," ujarnya dalam diskusi di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Minggu (8/2/2015).
Hal itu ia paparkan menyusul adanya gugatan prapedalian yang ditempuh kubu Komjen Budi Gunawan terkait penetapan tersangkanya oleh KPK.
Menurut Dosen Kriminologi Universitas Indonesia itu, harusnya kubu Budi Gunawan membuktikan sangkaan KPK di persidangan umum. Bukan dalam sidang praperadilan.
"Sekarang kita melihat ada pihak yang mencoba untuk secara kreatif menguji hal tersebut, seharusnya hal itu dapat dilakukan di luar mekanisme praperadilan, melainkan dalam mekanisme persidangan umum," ujarnya.
Senada itu, Dosen FH UI, Ganjar Laksmana Bonaprapta menilai dalam praktik dapat dilihat bahwa Pasal 77 KUHAP tidak memungkinkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
Tapi memang ada sedikit celah dalam Pasal 95 KUHAP, yang mengatur secara spesifik ganti rugi dan rehabilitasi.
Menurutnya dalam Pasal 95 KUHAP memang ada frasa, "... tindakan lain", yang mungkin dianggap sebagai pintu masuk menguji sah tidaknya penetapan tersangka Budi Gunawan, melalui mekanisme ganti rugi. Tapi, tekan dia, penjelasan Pasal 95 KUHAP yang mengatur secara limitatif frasa “...tindakan lain” tersebut hanya berlaku untuk penggeledahan dan penyitaan.
"Jadi jelas tidak ada penetapan tersangka yang dapat dimintakan ganti rugi sebagaimana disebut Pasal 95 KUHAP," ujarnya dalam diskusi yang sama.
Sementara, dalam konteks teori hukum, memang menurut Bondan, ada adagium, "selama tidak ada larangan dan kewajiban, berlakulah norma kebolehan,". Tapi hal ini hanya diatur dalam hukum pidana materil atau KUHP.
"Jadi norma tersebut tidak berlaku dalam konteks hukum pidana formil atau KUHAP, dan dalam konteks ini spesifik soal praperadilan. Jadi apa yang diatur oleh KUHAP, hanya itu yang diperkenankan dapat dilakukan, jadi jangan ditafsirkan lain-lain," ujarnya.
Menurut Bondan, semua harus taat pada asas hukum. Jadi jangan dibuat tafsiran yang berbeda dari yang sudah disebutkan dalam aturannya. "Kalau ada kekosongan hukum, buat aturan di bawahnya," ujarnya.
Contohnya dalam praktik, ada juga praperadilan yang mengabulkan hal-hal di luar yang diatur dalam KUHAP. Misalnya kasus Chevron. Tapi kemudian hakimnya dikenakan sanksi oleh MA.
"Intinya, untuk hukum acara/ hukum formil tidak dapat ditafsirkan lain selain dari apa yang tertera di dalamnya," imbuhnya.
Sedangkan Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain menilai dalam gugatan praperadilan yang dilayangkan Budi Gunawan terdapat kekeliruan dalam permohonannya. Di mana Pengadilan yang berwenang melakukan fungsi praperdailan dalam konteks ini adalah Pengadilan Tipikor, sebagaimana tertuanf dalam Pasal 63 Undang-Undang KPK.
"Meskipun demikian, pengadilan tidak boleh menolak mengadili perkara atau gugatan yang masuk, jadi praperadilan BG harus tetap diputus. Tapi harusnya Pengadilan bisa langsung memutus untuk tidak mengabulkan gugatan praperadilan BG," ujarnya. (Edwin Firdaus)