Dosen Hukum Pidana :Jika Praperadilan Diterima jadi Beban Berat Lembaga Peradilan
Gugatan Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan bisa berdampak signifikan terhadap sistem hukum acara pidana
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Dosen Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan Agustinus Pohan menilai, gugatan praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan bisa berdampak signifikan terhadap sistem hukum acara pidana di Indonesia jika dikabulkan.
Jika dikabulkan, maka putusan hakim praperadilan tersebut bisa menjadi preseden buruk.
"Putusan ini akan menjadi preseden bagi orang lain yang ditetapkan sebagai tersangka untuk maju melakukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka. Jika hal ini terjadi, maka akan menjadi beban yang luar biasa berat bagi lembaga peradilan karena sudah pasti semua penetapan tersangka akan dipraperadilankan," kata Agustinus di Jakarta, Rabu (11/2/2015).
Pada akhirnya, fenomena tersebut dinilainya akan berdampak terhadap efektifitas dan efisiensi proses penegakkan hukum.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Prof Eddy Hiariej khawatir Pengadilan Negeri bakal menerima gugatan praperadilan yang diajukan Budi. Pasalnya, menurut dia, hakim seharusnya menyatakan tidak menerima gugatan sejak awal jika memang pada akhirnya akan menolak gugatan.
"Logikanya buat apa hakim menghabiskan waktu memeriksa pembuktian jika ia sadar bukan kompetensinya dan harus menolak gugatan," sambung Eddy.
Eddy berpendapat, bukan kompetensi praperadilan untuk penguji penetapan tersangka seseorang. Dengan demikian, lanjut Eddy, gugatan praperadilan yang diajukan Budi seharusnya ditolak jika melihat dari sifat formalistiknya hukum acara pidana.
"Ada prinsip dalam hukum acara pidana harus jelas, tegas dan tidak boleh diintrepetasikan lain dari yang tertulis. Artinya apa yang diatur dalam hukum acara pidana tidak boleh diinterpetasikan lain dari yang tertulis, sehingga penetapan tersangka jelas bukan obyek praperadilan," ucap dia.
Namun, lanjut Eddy, lembaga praperadilan pada kenyataannya sering mengabulkan apa yang bukan menjadi obyek praperadilan. Kendati demikian, menurut dia, hal ini tidak akan menjadi masalah selama KPK bisa membuktikan adanya alat bukti dalam penetapan tersangka.
"Jika menggunakan interpretasi futuristik dan due process of law memang penetapan tersangka tidak sembarangan harus diverifikasi alat bukti yang ada, selama KPK bisa membuktikan alat biukti tidak menjadi masalah," kata dia.
Tim pengacara Budi menganggap penetapan kliennya sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK merupakan bentuk intervensi terhadap keputusan Presiden. KPK telah melewati wewenangnya dalam pemilihan calon kepala Polri. Akibatnya, proses pelantikan Budi sebagai kepala Polri terhambat.
Sesuai dengan Pasal 38 ayat 1 dan Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tim pengacara mengatakan bahwa tugas dan wewenang KPK adalah penyelidikan dan penyidikan. Namun, dalam proses pemilihan kepala Polri, KPK menyalahgunakan tugas dan wewenangnya dengan bersikukuh ikut dalam proses tersebut.
Menurut pihak Budi, penetapan Budi sebagai tersangka ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Polri tidaklah tepat. Alasannya, pada posisi jabatan tersebut, Budi bukan termasuk aparat penegak hukum sehingga penyelidikan atau penyidikan tak bisa dilakukan. Jabatan tersebut juga tak termasuk penyelenggara negara karena bukan bagian dari jabatan eselon I.
Penetapan tersangka Budi yang tanpa diawali pemanggilan dan permintaan keterangan secara resmi dianggap sebagai tindakan melanggar hukum. Menurut Pasal 5a UU Nomor 30 Tahun 2002, untuk menjunjung ketentuan hukum, dua proses tersebut harus dilakukan dalam penyelidikan dan penyidikan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.