Di Australia, Todung Mulya Lubis Beberkan Korupsi Berjamaah Saat Pilkada dan Pemilu Nasional
Di Universitas Murdoch, Perth, Australia, Todung Mulya Lubis beberkan korupsi berjamaah di Indonesia saat Pilkada dan Pemilu Nasional.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Pemilihan umum di tingkat nasional dan pemilihan kepala daerah kerap kali menjadi sumber korupsi di Indonesia. Hal itu disebabkan adanya korelasi atau hubungan saling ketergantungan di antara politisi, penguasa, dan pengusaha yang melanggengkan perbuatan korupsi itu pada setiap pemilu.
Todung Mulya Lubis mengungkapkan hal itu dalam seminar yang diadakan di Universitas Murdoch, Perth, Australia, Jumat (20/2) malam. Sebelumnya, dari universitas yang sama, ia memperoleh gelar Doktor Kehormatan Bidang Hukum. Wartawan Kompas, Iwan Santosa, melaporkan, di hadapan pakar dan peserta program kajian Asia, Mulya Lubis menjelaskan, korupsi pemilu itu terjadi masif sebelum, saat pelaksanaan, dan setelah pemilu.
Penganugerahan doktor diberikan kepada Mulya Lubis karena pengabdiannya selama ini di bidang hukum dan hak asasi manusia sejak 1980-an.
”Sudah lazim terdengar keluhan anggota DPR atau DPRD, bupati, wali kota, dan gubernur tentang tingginya biaya pemilu secara resmi dan tidak resmi yang mereka harus keluarkan,” ujarnya.
Mulya Lubis, seraya mengutip kajian John Nichols dan McChesney, menyatakan, situasi itu disebut sebagai ”Dollarocracy” atau demokrasi berbiaya tinggi.
”Korupsi saat pemilu menghasilkan pemerintahan di pusat dan daerah yang aktornya dibebani biaya tinggi dan berupaya mengembalikan modal yang dikeluarkan. Akhirnya, mereka melakukan tindakan korupsi,” paparnya.
Mulya Lubis, yang sebelumnya mendapat gelar Guru Besar Bidang Hukum dari Universitas Melbourne, Australia, pada 2014, mengutip pendapat Hakim Agung Amerika Serikat Louis Brandeis yang menegaskan, kita punya pilihan bisa memiliki demokrasi atau negara yang kekayaannya dikuasai segelintir orang saja. Namun, tidak ada sebuah negara demokratis yang kekayaannya dimiliki hanya segelintir orang.
Meskipun demikian, Mulya Lubis optimistis, kekuatan masyarakat sipil, kemerdekaan pers, dan pembenahan partai politik bisa mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, terutama terkait korupsi pada pelaksanaan pemilu.
”Adanya upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan pada saat yang sama menguatnya kekuatan politik yang berusaha menyandera Presiden Joko Widodo menciptakan lemahnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” katanya.
Menurut Mulya Lubis, dalam situasi yang tidak menentu seperti ini, Indonesia tidak bisa kembali ke era militerisme dan mengembalikan kekuasaan Orde Baru ke era Reformasi. Media massa dan masyarakat sipil harus bisa mengawal perubahan meskipun perubahan itu tidak terjadi dengan drastis.
Demokrasi harus dikawal
Direktur Pusat Studi Asia Universitas Murdoch Vedi Hadiz, dalam sesi tanya-jawab di seminar tersebut, mengingatkan pentingnya menjaga dan mengawal demokrasi di Indonesia.
”Demokrasi di Filipina sudah terbuka pada 1980-an atau lebih awal daripada Indonesia. Thailand juga sudah terbuka demokrasinya. Namun, kedua negara tersebut mengalami kemunduran,” kata Vedi mengomentari korupsi, kekacauan politik, dan kudeta militer yang terjadi di negara tetangga tersebut.
Dosen Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Airlangga Pribadi, yang juga mengikuti seminar tersebut, ikut mengkritik masyarakat sipil di Indonesia yang seperti terjerat dalam jejaring oligarki kekuasaan politik dan seolah tidak berdaya. Sebab, oligarki kekuasaan tersebut terjadi di tingkat nasional dan merebak ke daerah secara menyeluruh.