MK Nilai Tak Boleh Ada Lembaga Negara Ambil Tugas Wapres dan Menteri
"Boleh saja membentuk lembaga pembantu presiden tapi tidak melanggar konstitusi."
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstutusi (MK), Arief Hidayat, menegaskan, meski Presiden dibolehkan untuk membuat sebuah lembaga negara baru yang dianggap dapat membantu tugas-tugas Presiden, namun kewenangan lembaga negara baru yang dibentuk Presiden itu tidak boleh mengambil tugas dan fungsi Wakil Presiden dan para Menteri selaku pembantu Presiden.
“Kecuali presiden, maka tidak boleh ada lembaga negara lain yang mengambil tugas wakil presiden dan para menteri. Apalagi kalau ada lembaga negara lain yang dibentuk presiden itu diberi kewenangan melakukan pengawasan terhadap para menteri,” kata Arief kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/3/2015).
Penegasan Arief tersebut terkait dengan digugatnya Perpres 26 soal Kepala Staf Kepresidenan. Salah satu isi Perpres tersebut yaitu, memberikan kewenangan kepada Staf Kepresidenan mengawal program prioritas pemerintah, serta mengawasi kinerja para Menteri Kabinet Kerja.
Menurut Arief, MK sudah pernah mengeluarkan putusan yang memberikan kewenangan presiden untuk membuat lembaga-lembaga pembantu. Dalam putusannya, MK menegaskan preisden boleh membentuk lembaga pembantu presiden dalam bentuk kementerian, dan lembaga lainnya.
"Tapi kan sekarang presiden dibantu wakil presiden dan sudah ada 4 menteri koordinator. Jadi pembentukan lembaga presiden presiden tidak boleh di atas kewenangan menteri," ucapnya.
Saat disinggung apakah pembentukan Kepala Staf Kepresiden sesuai konstitusi, Arief menjawab normatif. "Boleh saja membentuk lembaga pembantu presiden tapi tidak melanggar konstitusi," ucapnya.
Seperti diketahui, presiden mengeluarkan Perpres 26 soal Kepala Staf Kepresidenan. Salah satu isi Perpres tersebut yaitu, memberikan kewenangan kepada Staf Kepresidenan mengawal program prioritas pemerintah, serta mengawasi kinerja para Menteri Kabinet Kerja.
Dihubungi terpisah, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, Keputusan Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 26 Tahun 2015 tersebut tidak sesuai dengan desain sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana dimaksud UUD 1945 dan UU 39/2008 tentang Kementerian Negara.
Sesuai Pasal 4 dan Pasal 17 UUD 1945 dan UU Kementerian Negara maka tanggung jawab utama penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan ada di tangan Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri-Menteri sebagai pembantunya.
Dimana, terangnya, dalam Pasal 14 UU Kementerian Negara diatur adanya Kementerian Koordinator untuk kepentingan melakukan koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian urusan kementerian.
“Dengan konstruksi hukum yang demikian, maka unit-unit kerja pendukung disekitar Presiden dan Wakil Presiden yang keberadaannya hanya diatur dengan dasar hukum berupa Perpres seperti Kantor Staf Kepresidenan tidaklah tepat jika diberikan kewenangan untuk mengendalikan program prioritas nasional yang dilaksanakan oleh para Menteri, karena hakikatnya Menteri-Menteri itu bertanggung jawab hanya kepada Presiden,” tandas Arief.
Untuk itu dalam rangka tertib hukum pengelolaan kelembagaan negara sekaligus mencegah Kepala Staf Kepresidenan bertindak seolah-olah sebagai Perdana Menteri seperti halnya dalam sistem pemerintahan campuran (mixed system of government) yang mengenal jabatan Presiden dan Perdana Menteri sekaligus sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.
Maka Presiden Jokowi sebaiknya segera melakukan perubahan terhadap Perpres 26 Tahun 2015 untuk menempatkan Kepala Kantor Staf Kepresidenan sesuai fungsi awalnya yaitu mengelola isu strategis dan menyampaikan analisis data dan informasi strategis dalam rangka mendukung pengambilan keputusan oleh Presiden.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.