MK Tolak Seluruh Permohonan APJII Terkait Tarif Internet
MK menolak seluruh permohonan pengujian judicial review UU Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak terkait internet.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Yulis Sulistyawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan pengujian judicial review Pasal 2 ayat (2) dan (3) Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta Pasal 16, Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi.
Permohonan diajukan Front Pembela Internet (FPI) bersama Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Arief Hidayat membacakan putusan di ruang sidang MK, Kamis (19/3/2015).
Putusan ini sebenarnya sudah diputus saat Ketua MK masih dijabat Hamdan Zoelva, atau tepatnya dalam rapat permusyawaratan hakim, 23 Okteber 2014. Namun baru dibacakan pada sidang pleno terbuka hari ini.
Pada putusannya, sembilan majelis hakim MK bulat suara.Majelis memandang berdasarkan bukti-bukti, keterangan ahli dari berbagai pihak, dan fakta persidangan bahwa pasal-pasal yang dipersoalkan oleh para pemohon, tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dasar pertimbangan MK, yakni penambahan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan kewajiban tarif atas jenis PNBP, serta pengaturan biaya-biaya pungutan terhadap kewajiban pelayanan universal (USO), pengaturan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi (BHP Telekomunikasi) dan pengaturan pungutan biaya penggunaan frekuensi radio dalam Peraturan Pemerintah merupakan perintah UU No 20/1997 dan UU 36/1999.
"Selain itu, menurut Mahkamah bila jenis PNBP, serta biaya-biaya pungutan terhadap USO, pungutan BHP Telekomunikasi, dan pungutan biaya penggunaan frekuensi radio diatur dalam undang-undang, maka tidak sesuai dengan materi muatan UU yang bersifat umum," papar Arief.
Dalam mengambil keputusan ini, MK juga mempertimbangkan beberapa putusan sebelumnya. Di antaranya Putusan Nomor 128/PUU-VII/2019, Putusan Nomor 47/PUU-XIII/2014 dan Putusan Nomor 57/PUU-XII/2014, yang juga menyoalkan mengenai pungutan lain dalam PP atau peraturan di bawahnya.
Pada permohonan sendiri mulanya, Pradnanda Berbudy selaku kuasa hukum para pemohon memaparkan bahwa pasal-pasal yang disebutkan dalam dua undang-undang tadi telah melanggar konstitusi. Menurutnya, terdapat pelanggaran hak warga negara dalam mendapatkan informasi.
"Dalam pasal UU PNBP itu besaran tarifnya tidak disebutkan, sehingga pemerintah semena-mena menentukan besaran tarifnya. Padahal sudah banyak penerimaan negara bukan pajak di industri telekomunikasi," ujarnya.
Menurut Pradnanda, terdapat empat jenis PNBP yang harus ditanggung industri telekomunikasi. Beban tersebut dimasukkan ke dalam biaya hak penyelenggaraan (BHP). Keempat BHP itu yakni BHP frekuensi, telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan konten.
Menurut dia, terdapat banyak biaya yang tidak jelas dalam keempat BHP itu. Sehingga membuat penyedia jasa Internet terbebani. Seperti penerapan tarif yang tak jelas tercantum dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang PNBP. Pasal tersebut menyebutkan bahwa jenis PNBP yang belum tercakup dalam kelompoknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Itu bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, karena menurut Pradnanda, dalam pasal itu menyatakan bahwa pajak dan segala pungutan memaksa lainnya diatur dalam undang-undang. Namun, pada prakteknya, justru pemerintah mengaturnya melalui peraturan pemerintah.
Menurut dia, Undang-Undang PNBP harus mengatur detail mengenai tarif dan jenis masing-masing PNBP, dan menjadikan rujukan pemerintah dalam menetapkan tarif. Sehingga jelas, serta tidak merugikan konsumen karena tarif Internet yang begitu mahal.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.