Kabareskrim: Kalau Mau Didampingi Pengacara Denny Harus Tersangka Dulu
Denny tidak memenuhi panggilan pemeriksaan oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik akan memanggil mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, pada Selasa (24/3/2015) mendatang.
Sebelumnya, Denny tidak memenuhi panggilan pemeriksaan oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri karena tidak diperkenankan untuk didampingi kuasa hukumnya.
"Permintaan Beliau (Denny) kan didampingi pengacara. Nah, berarti Denny itu harus jadi tersangka dulu, baru bisa didampingi pengacara kan," ujar Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso, di Mabes Polri, Jumat (20/3/2015).
Budi mengatakan, penyidik telah melakukan beberapa kali gelar perkara. Hasil gelar perkara, kata dia, memang memberatkan pegiat antikorupsi itu. Polisi menduga Denny melakukan penyalahgunaan wewenang dalam proyek "payment gateway".
"Juga ada unsur kerugian negara yang cukup besar," ujar Budi.
Berdasarkan keterangan Kadiv Humas Polri Brigjen Anton Charliyan, penyidik menemukan ada kerugian negara Rp 32.093.692.000. Selain itu, penyidik juga menduga ada pungutan tidak sah sebesar Rp 605 juta dari sistem tersebut.
Sebelumnya diberitakan, Denny menolak diperiksa sebagai saksi oleh penyidik dalam pemeriksaan, Kamis (12/3/2015). Salah satu kuasa hukum Denny, Heru Widodo mengatakan, Denny meminta didampingi kuasa hukumnya. Tetapi, penyidik menolak memenuhi permintaan Denny.
"Menurut penyidik yang katanya berdasarkan SOP, klien kami tidak diboleh didampingi oleh kuasa hukum," ujar Heru di Mabes Polri, Jakarta.
"Kami lalu jelaskan, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Pasal 27 ayat (1) dan (2) yang menyebut bahwa penyidik memperbolehkan tersangka dan saksi sekali pun didampingi kuasa hukum kecuali atas persetujuan terperiksa," ujar Heru.
Namun, negosiasi itu menemui jalan buntu. Penyidik tetap ngotot pemeriksaan Denny tak perlu didampingi kuasa hukum. Oleh sebab itu, Denny pun memutuskan menolak untuk diperiksa dan baru bersedia diperiksa jika didampingi kuasa hukum.
Penyidik Dittipidkor Bareskrim Polri menduga ada tindak pidana korupsi dalam program 'payment gateway' sejak Desember 2014 silam. Petunjuk awalnya adalah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setebal 200 halaman. Polisi melakukan serangkaian tindakan penyelidikan terhadap petunjuk awal itu.
Polisi mendapatkan informasi ada uang lebih yang dipungut dalam sistem payment gateway layanan pembuatan paspor di seluruh kantor imigrasi. Uang lebih itu seharusnya masuk ke bank penampung. Namun, yang terjadi, uang lebih itu masuk ke bank lain yang menjadi vendor.
Pada 10 Februari 2015 yang lalu, ada laporan masuk ke penyidik Bareskrim Polri soal dugaan tindak pidana korupsi itu. Berselang satu hari setelah masuknya laporan, penyidik langsung meningkatkan perkara dari penyelidikan ke penyidikan.(Fabian Januarius Kuwado)