Pengacara Denny: Rp 605 Juta yang Disangkakan Polri Bukan Pungli
Heru mengatakan angka sekitar Rp 605 juta yang disebutkan sebagai pungli juga tidak tepat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana melalui pengacaranya Heru Widodo membantah bahwa ada pungutan tidak sah sebesar Rp 605 juta dalam proyek 'Payment Gateway' atau paspor elektronik.
Menurut Heru, nominal Rp 605 juta yang disangkakan Mabes Polri sebagai pungli adalah biaya resmi dalam transaksi perbankan yang ada dasar hukumnya, yaitu Rp 5000 untuk setiap transaksi pembuatan paspor.
"Sama sekali bukan pungli. Karena, pembayarannya atas persetujuan pemohon pembuat paspor. Soal pembayaran paspor secara elektronik tersebut pembayaran itu tidak wajib, dan merupakan pilihan pemohon sendiri," ujar Heru dalam pernyataannya yang diterima Tribunnews, Selasa(24/3/2015) malam.
Heru mengatakan angka sekitar Rp 605 juta yang disebutkan sebagai pungli juga tidak tepat, karena program pembayaran secara elektronik itu sendiri justru bertujuan untuk menghilangkan praktik pungli dan percaloan dalam pembuatan paspor.
Dengan pembayaran secara elektronik proses akan lebih cepat, akuntabel dan karenanya menghilangkan praktik pungli dan percaloan.
"Klien kami selalu bertindak tegas dalam upaya perbaikan pelayanan publik di lingkungan Kemenkumham, termasuk dalam pembuatan paspor," ujar Heru.
Sebelumnya dikabarkan Bareskrim Polri menaikkan status mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, dari saksi menjadi tersangka.
Denny ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi 'Payment Gateway' di kementerian yang dulu dipimpinnya
Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Anton Charliyan mengatakan ada pungutan tidak sah dalam kasus dugaan korupsi Payment Gateway yang melibatkan mantan Wamenkum HAM Denny Indrayana.
"Berdasarkan keterangan audit BPK Desember 2014 terindikasi ada kerugian negara Rp 32.093.695.000 dan ada pungutan tidak sah Rp 605 juta," tegas Anton.
Rencananya Denny akan dipanggil sebagai tersangka pada Jumat 27 Maret 2015 mendatang.