Wakil Rakyat yang Menjauhi Rakyat
Jasa Marga saat itu memang berniat meninggikan dan memperkuat pagar jalan tol akibat terlalu sering dirobohkan pengunjuk rasa.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa tahun lalu, operator jalan tol Jasa Marga sempat ditegur DPR ketika berniat memperkuat pagar pembatas jalan tol di depan gedung DPR. Pagar pembatas jalan tol dinilai akan menghalangi interaksi wakil rakyat dengan rakyatnya. DPR ingin supaya gedung parlemen terlihat oleh pelintas tol.
Jasa Marga saat itu memang berniat meninggikan dan memperkuat pagar jalan tol akibat terlalu sering dirobohkan pengunjuk rasa. Apalagi setelah merobohkan pagar, pengunjuk rasa masuk dan memblokade lalu lintas jalan tol demi menarik perhatian khalayak.
Pada akhirnya, Jasa Marga tetap memperkuat pagar pembatas itu dengan beton meski tetap membuat "jendela" sehingga pelintas dapat melihat gedung parlemen saat melintasinya.
DPR memang penuh kontradiksi. Ketika Jasa Marga dikritik saat membuat pagar tol, justru DPR membangun pagar supertinggi. Pagar tinggi yang menjulang angkuh itu membuat jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Wakil rakyat semakin menjauhi rakyat yang telah memberikan suara dalam pemilihan anggota legislatif 2014 sehingga wakil rakyat itu bisa menduduki kursi empuk di Senayan.
Padahal, ada banyak alternatif arsitektur untuk "mendekatkan" jarak. Hal sederhana, pagar tinggi itu dapat saja diganti parit. Sama-sama punya fungsi mengamankan, tetapi dengan parit bukankah kompleks parlemen lebih ramah jika dilihat dari Jalan Gatot Subroto? Ini soal pilihan.
Ketika gedung DPR dan penghuninya terasa berjarak dengan rakyat, kini DPR dan kepolisian mewacanakan polisi parlemen. Lagi-lagi kontradiktif. Ketika operator jasa transportasi, seperti perusahaan kereta api dan bandara, menampilkan wajah-wajah ramah, justru DPR akan menempatkan petugas polisi parlemen di pintu-pintu ruang DPR.
"Nah, kami sudah mulai membahas pembentukan polisi parlemen di Baleg," ujar Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Saan Mustopa. Bahkan, proposal lengkap pengamanan telah disusun, termasuk zonasi ulang kompleks parlemen, yang jelas mempersempit ruang gerak rakyat.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang justru khawatir polisi parlemen menyulitkan rakyat untuk menyampaikan aspirasi. "DPR tidak perlu memikirkan pembentukan polisi parlemen. Yang lebih dibutuhkan adalah langkah memulihkan citra buruk parlemen," ujarnya.
Namun, rencana pembentukan polisi parlemen sangat serius. Nantinya, seorang brigadir jenderal polisi akan memimpin 1.194 polisi dan PNS. Sebagai pembanding, kini MPR diperkuat 29 anggota pengamanan dalam (pamdal), DPR dijaga 489 anggota pamdal, dan DPD oleh 50 anggota pamdal.
Di negara maju
Polisi parlemen pun diproyeksikan untuk tidak sekadar mengamankan lingkungan parlemen, tetapi juga menjaga rumah dinas dan mengawal anggota Dewan dalam perjalanan dinas.
Memang benar di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, ada polisi parlemen dengan fungsi khusus dalam tugas-tugas keamanan di parlemen. Namun, juga ada negara maju lainnya yang tidak terlalu mencolok dalam mengamankan pejabat negara dan anggota legislatif.
Bicara soal pengawalan perjalanan dinas, misalnya, apakah seorang anggota DPR akan dikawal dari rumah dinas ke kompleks parlemen di Senayan? Atau hanya dikawal saat reses? Tidakkah pengawalan itu berlebihan?
Jangankan anggota parlemen biasa, di Belanda-salah satu negara maju dunia-Perdana Menteri Mark Rutte justru naik sepeda ke kantornya di Den Haag (The Hague). Dia bersepeda tanpa dikawal dan hanya ditemani seorang anggota staf.