Cinta Tanah Air Bisa Jadi Alat Perangi ISIS
Jika mereka menghayati arti cinta tanah air, radikalisme dan kepergian mereka ke Suriah tidak akan pernah terjadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyaknya Warga Negara Indonesia (WNI) ) yangpergi ke Timur Tengah dan bergabung dengan Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS) akibat pemahaman kurang tepat soal Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika mereka menghayati arti cinta tanah air, radikalisme dan kepergian mereka ke Suriah tidak akan pernah terjadi.
"Mereka itu ibarat kemasukan racun yang berupa radikalisme seperti ISIS. Penawar dan melawan racun itu adalah meyakinkan mereka bahwa NKRI yang berdasar Pancasila adalah terbaik dan bisa membawa kehidupan manusia yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur yang arti harfiahnya adalah negeri yang sentosa, adil dan makmur dibawah lindungan Tuhan Yang Maha Pengampun. Bahkan untuk berjihad di NKRI juga bisa, tetapi dengan jihad yang positif," ujar Guru Besar Psikologi Universitas
Indonesia (UI) Prof Dr Hamdi Muluk MSi Rabu (22/4/2015).
Menurut Hamdi, mereka yang nekat pergi ke Suriah karena merasa tidak puas berada di Indonesia.
"Mereka berpikir di Indonesia sudah tidak ada harapan lagi sehingga harapan mereka bisa tinggal di negara utopis (khayalan) yang disebut negara Islam. Kondisi itu dipicu dengan keadaan negara kita yang masih karut marut ditambah korupsi yang masih merajalela, dan ketidakadilan, serta kelakuan pejabat yang tidak benar. Itu membuat daya tarik Indonesia di mata mereka menjadi rendah
sehingga mereka berbondong-bondong ingin ke sana. Apalagi ada jaminan masa depan yang dijanjikan ISIS," kata Hamdi.
Namun, lanjut Hamdi, jika berpikir jernih, mereka seharusnya sadar ISIS bukan negara impian mereka.
"Jika sadar dan kritis, seharusnya mereka sudah tahu. Masak negara Islam bengis dan tidak mencerminkan sikap Islami dengan melakukan eksekusi seenaknya serta tindakan tidak berperikemanusiaan lainnya," terang Hamdi.
Secara logika, ISIS itu sebenarnya adalah negara darurat dan tidak ada ketenteraman di sana.
Menurutnya, sebelum mereka pergi ke Suriah, pasti ada proses indoktrinasi, bahkan sebagian juga telah dibaiat.
Inilah yang sekarang menjadi tugas seluruh bangsa Indonesia untuk membuat benteng antisipasi terhadap gerakan-gerakan radikalisme tersebut.
Hamdi mengatakan bahwa counter radikalisasi terus dilakukan seluruh masyarakat bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan badan-badan terkait lainnya.
"Intinya tugas kita bagaimana bisa menyaring para remaja agar tidak ikut pengajian yang berhaluan keras. Mereka harus punya rasa cinta tanah air yang tinggi serta pemahaman agama benar, terlebih remaja biasanya sangat mudah terkena rayuan karena pemahaman mereka masih sepotong-sepotong," kata Hamdi.
Sementara itu, anggota DPR RI dari Fraksi PKB KH Maman Imanulhaq (Kiai Maman) mengatakan, cinta tanah air bisa jadi senjata perangi masuknya faham radikalisme, terutama ISIS.
"Problem menanamkan arti cinta tanah air Indonesia terbentur dengan adanya ideologi transnasional dan transaksional. Bagi sebagian
masyarakat ideologi itu dianggap sebagai ideologi internasional. Padahal kita tahu semua orang Indonesia harus punya sikap cinta tanah air karena orang yang tidak punya cinta tanah air, berarti mereka tidak memiliki sejarah," kata Kiai Maman.
Menurutnya, terkait beberapa keragaman agama, suku dan kebudayaan di Indonesia ada beberapa pemahaman berbeda tentang cinta tanah air.
Tapi justru pemahaman cinta tanah air yang berbeda-beda membuat rasa rasa nasionalisme muncul untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara, sesuai dengan agama masing-masing.
"Agama dan keyakinan itu bisa menjadi transformasi dalam mewujudkan perdamainan dan itulah yang dinamakan Indonesia. Saat Islam menjadi yang terbesar di Indonesia sekarang, kehidupan beragama bisa menjadi harmonis dan bisa berdampingan satu sama lain. Jika hal itu ditanamkan dan diperkuat, saya yakin faham-faham radikalisme akan sulit masuk ke negara kita,"ujar Kiai Maman.
Ia menilai, paham transnasional seperti ISIS harus dilawan dengan rasa
nasionalisme yang tinggi.
"Kita mengatakan Islam Indonesia, Kristen Indonesia, tetapi kita sepakat dengan identitas masing-masing sehingga toleransi berjalan dengan baik dan bisa berpikir moderat dalam memahami perbedaan," tukasnya.
Ideologi kedua, lanjut Kiai Maman adalah ideologi transaksional.
Ideologi ini, orang selalu menghitung materi dalam membuat keputusan.
"Ini salah salah satu yang ditawarkan ISIS. Orang berbondong-bondong bergabung dengan ISIS, karena 183 miliar per hari yang dihasilkan ISIS. Jadi kalau bergabung dengan ISIS, mereka akan mendapat banyak uang dan bisa berjihad atas nama Islam. Itu adalah promosi yang efektif bagi ISIS, meski sebenarnya hanya ilusi. Apalagi cara-cara ISIS jauh dari ajaran agama Islam. Tidak mungkin ada agama yang membolehkan membunuh, penghinaan terhadap wanita, menghancurkan
situs-situs agama," ungkap Kiai Maman.
Untuk melawan propaganda itu, Kyai Maman menggarisbawahi bagaimana kebijakan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat berjalan efektif.
"Kemiskinan dan kebodohan membuat orang mau bergabung dengan kelompok radikal ekstrem. Orang yang menghitung
materi akan hilang ketika ia mencintai Indonesia. Caranya, buat kepastian hukum, hilangkan korupsi, dan sejahterakan masyarakat
Indonesia. Ini menjadi tugas berat kita bersama, terutama pemerintah Republik Indonesia," tukas Maman.