Moncong Senapan Algojo Sudah di Hadapan, Gularte: Apa Saya Sedang Dieksekusi?
Sebab, sejak berumur 16 tahun, ia harus hidup dengan segala kecemasannya yang berlebihan sehingga memengaruhi jiwa dan otaknya.
Laporan Wartawan Tribunnews.com Ruth Vania Christine
"APA saya sedang dieksekusi?", tanya Rodrigo Gularte secara tiba-tiba kepada pembimbing spiritualnya, Charlie Burrows.
"Ya, saya pikir saya sudah jelaskan ini kepadamu," tutur Charlie.
Jawaban dari rohaniwan Irlandia itu segera membuat Gularte terkesiap.
Gularte lalu menyadari, tangan dan kakinya telah terikat rapat pada tiang pancang yang terbuat dari kayu.
Mata Gularte lantas menangkap sederet algojo yang asyik menyiapkan senapan di hadapannya.
"Anda ingin memakai penutup mata?" tanya seorang algojo. Tapi, seperti ketujuh terpidana mati lain yang terikat di tiang pancang, Gularte secara mantab menjawab: "Tidak."
Gularte lantas berkhidmat, menatap barisan algojo, merapal doa, selanjutnya melantunkan bait lagu Amazing Grace:
"T'was Grace that taught...my heart to fear/And Grace, my fears relieved/How precious did that Grace appear.../the hour I first believed." (Ketika insaf, aku cemas/sekarang aku lega! Syukur/bebanku telah lepas/berkat anugerah!)
Tak berselang lama, setelah semua keriuhan peluru yang mendesing, di bawah tenda violet itu, hanya ada keheningan.
***
Satu bait kidung Amazing Grace yang dilantunkannya tersebut, ternyata tak sekadar kiasan bagi Gularte, satu dari 8 terpidana mati yang dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (29/04/2015) dini hari.
Sebab, sejak berumur 16 tahun, ia harus hidup dengan segala kecemasannya yang berlebihan sehingga memengaruhi jiwa dan otaknya.
Rodrigo Muxfeldt Gularte, begitu nama lengkapnya, adalah pengidap penyakit kejiwaan schizofrenia.
Banyak pihak, termasuk Presiden Brasil Dilma Rousseff, yang menyangka karena penyakit itu, hukuman mati bagi Gularte akan dianulir Presiden RI Joko Widodo.
Apalagi, Pasal 44 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjamin orang yang "kurang sempurna" akalnya atau sakit berubah akal tak bisa dipidana.
Tapi harapan itu sirna, karena entah kenapa, pasal tersebut tak diberlakukan untuk mendiang Rodrigo Gularte.
Karena mengidap schizoprenia, Gularte kerap tak bisa membedakan antara kenyataan dan khayali penuh kecemasan dalam benaknya.
Pernah suatu ketika, Ricky Gunawan, kuasa hukumnya mengingatkan kliennya itu bahwa hukuman mati segera dilaksanakan.
Namun, Gularte malah tidak paham dengan itu.
"Hukuman mati apa? Saya tidak akan dihukum mati," demikian jawab Gularte kepada Gunawan.
Saat ditanya mengenai permintaan terakhirnya sebelum dieksekusi pun, Gularte hanya tertawa.
"Memangnya seperti Aladdin, harus mengajukan tiga permintaan?" gurau Gularte, seperti dilansir dari The Australian.
Sementara pembimbing spiritualnya, Charlie Burrows juga mengatakan bahwa selama ini, Gularte tidak marah mengenai vonis matinya itu.
Ia hanya merasa terganggu dan merasa hukuman tersebut tidak pantas untuk diterima olehnya.
"Saya melakukan kesalahan kecil dan mengapa mereka tidak membiarkan saya di penjara saja? Saya tidak akan membuat masalah," keluhnya kepada Burrows.
Segenap pihak Gularte sudah mengusahakannya untuk meniadakan eksekusi, lantaran dirinya terbilang sakit secara mental. Namun, usaha tersebut tetap saja gagal.
Negara Brazil sendiri berduka dan menyesal atas eksekusi Gularte, serta menyayangkan kerapuhan hukum Indonesia.
Walau penuh kekecewaan, kerabat Gularte sudah merelakan kepergiannya tersebut. Seperti pada bait terakhir kidung Amazing Grace, mereka berharap Gularte bahagia meski raganya terkubur dan lenyap.
"Yea, when this flesh and heart shall fail/And mortal life shall cease/I shall possess within the veil/A life of joy and peace." (Kendati nanti ragaku terkubur dan lenyap, padanya-Nya aku berteduh bahagia tetap).