Anggota DPD Bekerja di Jakarta, untuk Apa Bangun Kantor Rp 700 Miliar di Daerah?
Tidak ada habisnya kontroversi yang diwacanakan anggota dewan. Kerap menuai kontra, dan keresahan di masyarakat.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak ada habisnya kontroversi yang diwacanakan anggota dewan. Kerap menuai kontra, dan keresahan di masyarakat.
Seperti sederet usulan yang baru-baru ini dilontarkan. Setelah DPR merencanakan Pembangunan Gedung DPR senilai Rp 1,5 Triliun dan Dana Aspirasi Rp 11,2 Triliun per tahun, DPD kini ikut latah, bahkan lebih progresif dengan usulan membangun Gedung DPD di daerah senilai Rp 21 Miliar per daerah atau total Rp 700 Miliar secara Multiyear.
"Padahal, anggota DPD setiap hari bekerja di Jakarta, bukan di daerah," kata Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Apung Widadi, dalam keterangannya, Kamis (18/6/2015).
Menurut Apung, proyek ini sebenarnya telah ditolak oleh masyarakat pada tahun 2011. Ketika itu yang diajukan anggarannya hampir Rp 900 Miliar per DPD. Sehingga jika proyek pembangunannya berbentuk multiyears selama 3 tahun, berarti negara harus keluarkan dana Rp 30 miliar untuk satu gedung DPD tiap tahunnya.
Menurut Apung anggaran tersebut sangat tidak masuk akal. Karena bila menengok pembangun gedung di DKI Jakarta saja, hanya butuh Rp 9 Miliar. Usulan 30 Miliar sudah keluar dari amanat perturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007. "Jadi potensi markup pembangunan gedung DPD di daerah mencapai 50 persen atau sekitar Rp 350 Miliar," kata Apung.
Sementara menurut DPD, gedung tiga lantai yang kini tengah direalisasikan di NTT, Sumatera Selatan dan Yogyakarta sebagai awalan itu akan digunakan untuk sejumlah hal. Di antaranya sebagai ruang serbaguna, penerimaan orang hingga kapaitas 150 orang, ruang rapat anggota, ruang anggota dan staf, ruang arsip dan sirkulasi, serta sekretariat.
Meski begitu, FITRA tegas menolak usulan tersebut. Sebab menurut Apung, itu hanya pemborosan bila hanya digunakan membangun gedung DPD yang para anggotanya, sejatinya tidak berkantor di daerah.
"Pertama, batalkan pembangunan gedung DPD didaerah, selain pemborosan dan ini upaya merampok uang negara secara sistematis. Lebih baik DPD memperbaiki kapasitas dan kewenangan dalam hal Legislasi dan Penganggaran APBN. DPD masih lemah dalam kinerja dan tidak produktif selama 13 tahun ini," kata Apung.
Kedua, lanjut Apung, kategori gedung DPD di daerah tergolong kategori gedung mewah dengan tiga lantai. Sehingga potensi markupnya tinggi, dan mewajibkan BPK wajib segera lakukan audit investigatif.
"Ketiga, proses perencanaan Gedung tersebut tidak transparan. Tiba-tiba dibangun saja, padahal tahun 2011 sudah dibatalkan sendiri oleh DPD karena desakan masyarakat. Oleh karena itu, FITRA menuntut KPK untuk turun tangan menyikapi aroma transaksional dalam proses penganggaran pembangunan gedung di DPD," imbuhnya.