Relawan KIB: Analisa Kostum Militer Jokowi, Pemikiran Rachland Dangkal dan Sesat
Dengan berpakaian Militer, imbuh Reinhard, itu menunjukan tidak ada lagi dikotomi (pertentangan) antara sipil dan militer.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM - Penampilan Presiden Joko Widodo yang mengenakan seragam militer saat menerima Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Istana Negara Jakarta menuai beragam komentar.
Salah satunya dari juru bicara DPP Demokrat, Rachland Nashidik, yang menyebut penampilan mantan Wali Kota Solo tersebut memalukan dan menggelikan.
Pernyataan Rachland Nashidik tersebut sontak membuat kelompok relawan Jokowi, Kebangkitan Indonesia Baru (KIB), angkat bicara.
Menurut Ketua Umum KIB, Reinhard Parapat, berpakaian Militer itu bukan identik dengan 'menggelikan dan mempermalukan Presiden' seperti yang dituduhkan Rachlan.
"Justru itu menjadi kebanggaan tersendiri di tubuh TNI kita, khususnya yang sedang berlelah-lelah dalam latihan perang," kata Reinhard kepada Tribunnews.com, Jumat (19/6/2015).
"Kalau kita tanya kepada seluruh prajurit TNI, justru itu merupakan perhatian dan dukungan kepedulian penuh Presiden Joko Widodo kepada prajurit TNI yang sedang berlatih dan bertugas menjaga perbatasan di tanah air," lanjut Reinhard.
Reinhard juga menyebut berpakaian militer itu bukan berarti 'kurangnya kemampuan cara berpikirnya Bapak Presiden Joko Widodo' sebagaimana yang dituduhkan Rachlan.
"Rachlan sangat subjektif dan memperlihatkan pemikirannya yang dangkal dan sesat, meletakan dasar atas suatu analisa dari sebuah 'kostum', tapi bukan dalam konteks isi pandangan pemikiran Presiden soal bernegara, khususnya soal isu militer, ini aneh, sesat dan tidak mendidik cenderung sangat subjektif," tutur Reinhard.
Dengan berpakaian Militer, imbuh Reinhard, itu menunjukan tidak ada lagi dikotomi (pertentangan) antara sipil dan militer.
"Setelah Reformasi tahun 1998, dwi Fungsi ABRI (sekarang TNI) telah dihapuskan, dan Hukum Positip kita sudah jelas dan tegas telah memisahakan peran Sipil dan Militer dalam bernegara," terang Reinhard.
"Jadi tidak ada lagi cara padang sesat dan iseng Rachlan Nashidik untuk mencari popularitas atas sebuah bahan analisa 'kostum' yang dikait-kaitkan dengan supremasi sipil dalam negara demokrasi, UU sudah tegas memisahakan antara Sipil dan Militer," lanjutnya.
Reinhard pun mengatakan tidak ada hubungan sebab dan akibat, ketika Presiden menggunakan seragam militer, dianggap menunjukkan betapa rendahnya penghargaan pada sejarah perjuangan demokrasi Indonesia.
"Pikiran sesat Rachlan Nashidik atas sebuah analisa 'kostum' yang tidak ada hubungan sebab dan akibat, dikaitkan dengan isu penghargaan pada sejarah perjuangan demokrasi justru memperlihatkan kebutaan beliau akan ketersesatan cara berpikir dirinya sendiri," katanya.
Analisa atas 'kostum' Presiden Joko Widodo, justru mencerminkan kedangkalan kualitas pengetahuan Rachlan Nashidik sebagai kader Partai Demokrat.
"Beliau ternyata tidak mengerti perkembangan hukum, di kala demokrasi kita sudah berubah ke arah yang lebih baik," ujar Reinhard.