Bekas Gubernur Papua Gugat KPK Lantaran Ditetapkan Tersangka Dua Kali Dan Ditahan Saat Sakit
Gubernur Papua 2006-2011, Barnabas Suebu, telah mengajukan gugatan praperadilan penetapannya tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Gubernur Papua 2006-2011, Barnabas Suebu, telah mengajukan gugatan praperadilan penetapannya tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kuasa hukum Barnabas, Wahyudi, mengatakan mereka menggugat terkait penetapan tersangka dan perpanjangan penahanan Barnabas.
"Ini kan penetapan tersangkanya dua kali. Penetapan tersangka itu tidak memenuhi unsur dua alat bukti," ujar Wahyudi saat dihubungri Tribunnews, Jakarta, Senin (22/6/2015).
Awalnya, lanjut Wahyudi, kliennya percaya bahwa KPK profesional. Namun, berkas penyidikan Barnabas ternyata tidak kunjung selesai (P21).
Lamanya proses tersebut, lanjut Wahyudi, semakin menguatkan dugaan KPK tidak memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Barnabas Suebu sebagai tersangka.
Barnabas juga menggugat KPK lantaran memperpanjang penahanan Barnabas. Padahal, lanjut Wahyudi, kondisi kesehatan kliennya tidak memungkinkan untuk ditahan.
"Kalau (gugatan) penahanan, ya orang sakit ditahan," tukas Wahyudi.
Sekedar informasi, Barnabas adalah tersangka tindak pidana korupsi Detailing Engineering Design Pembangkit Listrik Tenaga Air (DED PLTA) Danau Sentani dan Danau Paniai tahun 2008 Provinsi Papua.
Pada kasus tersebut KPK telah menetapkan tiga tersangka. Mereka adalah Gubernur Papua periode 2006-2011, Barnabas Suebu, bekas Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua 2008-2011 Jannes Johan Karubaba, dan Direktur Utama PT Konsultasi Pembangunan Irian Jaya (KPIJ), Lamusi Didi.
Ketiganya diduga melakukan perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Nilai proyek PLTA tersebut adalah sekitar Rp 56 miliar dan negara ditaksir mengalami kerugian senilai Rp 36 miliar.