Penegak Hukum Diminta Usut Dugaan Korupsi RS Sumber Waras
Penegak hukum diminta mengusut dugaan korupsi dalam kasus pembelian tanah seluas 3,6 hektar atau senilai Rp 775,69 miliar oleh Pemerintah Provinsi DKI
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Gusti Sawabi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penegak hukum diminta mengusut dugaan korupsi dalam kasus pembelian tanah seluas 3,6 hektar atau senilai Rp 775,69 miliar oleh Pemerintah Provinsi DKI yang terletak di belakang Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat.
Juru Bicara Garuda Institute, Roso Daras meminta kepada penegak hukum baik polisi, jaksa maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) supaya proaktif dalam memeriksa dugaan korupsi pembelian tanah ini.
"Kasus ini harus diusut tuntas, karena laporan keuangan BPK menilai mekanisme pembelian tanah tersebut di luar prosedur," katanya lewat pesan singkat yang diterima Rabu (15/7/2015).
Menurut dia, ada beberapa pokok masalah yang tidak terungkap dalam pembelian tanah ini diantarnya menyangkut kondisi tanah yang tidak siap bangun.
Karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang masih difungsikan. Tanah tersebut juga dikenal sebagai daerah langganan banjir, ujarnya.
Roso Daras mengatakan, masalah harga senilai Rp20,75 juta permeter yang diakui sebagai harga NJOP seharusnya tidak seluruh lahan bisa dikenakan harga Rp 20,75 juta permeter. Karena, harga tersebut adalah NJOP bagian depan areal RS.
"Sedangkan bagian belakang areal RS yang berbatasan dengan Jalan Tomang Raya hanya Rp7,44juta. Hal ini karena kondisi di belakang tidak strategis dan sulit diakses," tambahnya.
Di samping itu, Roso menilai langkah pembelian tanah itu dilakukan menjelang masa berlaku HGB nya berakhir tiga tahun lagi. Sebab, secara hukum tanah sertifikat HGB yang habis masa berlakunya sesuai Pasal 36 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun 1996, maka tanah tersebut menjadi milik negara.
Sertifikat HGB No.2878 Per Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis Mei 2018, jelas dia.
Sebelumnya, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sempat memberikan tangkisan terhadap audit BPK. Menurut dia, pendapat BPK yang menyatakan harus menggunakan apraisal dinilai terlalu proseduran.
Padahal, biaya apraisal bisa menyebabkan keluarnya anggaran lebih mahal dari pihak Pemprov DKI.
"Sekarang pertanyaan saya sederhana aja, bagaimana saya musti beli tanah di Sumber Waras kalau pakai prosedural berarti pakai apraisal dan lebih mahal. Padahal pakai NJOP lebih mahal, harusnya ditanyakan dong kepada Dinas Pajak, pernah enggak Pemprov DKI menentukan NJOP sesuai harga pasar? Enggak pernah," kata Ahok.