Anggota DPR RI: Banyak Pemda Tak Paham Aturan BPJS
Anggota DPR RI dari Komisi IX, Karolin Margret Natasa yakin masih banyak pemerintah daerah (pemda) di Indonesia yang tak paham mengenai BPJS
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Anggota DPR RI dari Komisi IX, Karolin Margret Natasa (33) yakin masih banyak pemerintah daerah (pemda) di Indonesia yang tak paham mengenai BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) .
"Coba deh kalau kita lakukan penelitian seksama, saya yakin sekali masih banyak pemda yang belum paham mengenai BPJS. Yang mengerti BPJS paling juga tak sampai mencapai 30% yang tahu maksud dan tujuan serta bagaimana harus di lakukan di daerahnya. Kalau pimpinan pemdanya tidak mengerti BPJS apalagi masyarakatnya ya semakin tidak tahu," papar Karolin khusus kepada Tribunnews.com kemarin (22/7/2015).
Ketidaktahunan mengenai BPJS masih lagi ditambah dengan ketakutan yang tak perlu dari para pejabat pemda di Indonesia.
"Toidak sedikit yang takut tuh, ketakutan mereka disosialisasikan, karena kalau telah disosialisasikan masyarakat jadi tambah tahu, malah bludak datang ke rumah sakit, membuat pejabat dan aparat pemda ketakutan. Belum lagi yang menyangka bahwa proyek BPJS sebagai proyek pemerintah pusat saja, sehingga tidak mau tahu pemda mengenai BPJS," tambahnya.
Tantangan yang perlu dibenahi lebih lanjut, ungkapnya lagi sebenarnya mengenai pelayanan kesehatan tingkat bawah seperti di puskesmas.
"Kalau di tingkat bawah seperti di Puskesmas bisa ditampung semua dilayani dengan baik, maka pelayanan lanjutan ke rumah sakit tak perlu lagi. Selama ini umumnya penyakit dasar seperti hipertensi dan diabetes itu yang seharusnya bisa ditangani di tingkat bawah seperti Puskesmas, malah naik ke rumah sakit, akibatnya rumah sakit jadi overloaded, kewalahan. Akibatnya pelayanan jadi tidak bisa maksimal."
Kemudian hasil rapat DPR dengan Menteri Kesehatan yang lalu sempat pula dibahas apa perlu premi dinaikkan?
"Masalahnya malah muncil di PBI (Peerima Bantuan Iuran) yang disubsidi dibayari pemerintah, malahan jadi mensubsidi yang mandiri. Kalau yang mandiri bayarnya senin-kemis. Kalau sakit bayar premi kalau tidak sakit tidak bayar premi kan repot kalau begitu. Jadi kita masih terus mencoba memperbaiki semuanya, belajar dari banyak negara maju."
Masalahnya, lanjutnya, Indonesia memang banyak sekali sektor non formal, kesulitan untuk menarik iuran.
"Negara lain juga kesulitan menarik iuran bagi kalangan non formal. Kita cobalah belajar dari negara yang best practice, dari yang telah menjalankan dengan baik. Tapi mereka pun bis aberhasil seperti sekarang misalnya Kanada dan Jepang bukan makan waktu sebentar tapi makan waktu sangat lama bertahun-tahun sehingga jadi mapan seperti sekarang."
Olehkarena itu sarannya lagi, "Sebaiknya kita selalu memperbaiki terus menerus semua kelemahan yang ada jangan berhenti kalau ada ada kelemahan. Dengan demikian sistem perlindungan kesehatan kita akan semakin baik melalui perbaikan segala sesuatunya secara berkesinambungan satu per satu."