Calon Tunggal di Pilkada Serentak Bukti Parpol Tak Lakukan Kaderisasi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan calon tunggal bisa saja terjadi.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Y Gustaman
![Calon Tunggal di Pilkada Serentak Bukti Parpol Tak Lakukan Kaderisasi](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/penerapan-e-voting-pemilu-di-indonesia_20141109_161619.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan calon tunggal bisa saja terjadi dalam pilkada serentak kali ini.
Ia melihat ada sejumlah faktor yang mendukung itu di antaranya, naiknya syarat dukungan calon dari parpol menjadi 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah hasil pemilu lalu. Sehingga membuat koalisi lebih ketat.
Faktor lainnya adalah daerah yang calon petahananya sangat kuat. Sehingga calon perseorangan kesulitan jadi kompetitor karena keterbatasan waktu untuk mengumpulkan dukungan dan beratnya syarat dukungan.
"Beberapa bakal calon dengan latar belakang anggota DPR, DPD, atau DPRD yang semula banyak menyosialisasikan diri maju dalam pilkada membatalkan pencalonan karena kewajiban mundur," ujar Titi ketika kepada Tribunnews.com, Senin (27/7/2015).
Titi menilai munculnya fenomena calon tunggal dalam pilkada serentak menunjukkan pola kaderisasi partai politik tidak berjalan optimal. Jika sejak awal parpol menyiapkan kader, memperkuat basis konstituen, dan memperkokoh elektabilitas kader, dan membangun komuninasi koalisi, tak akan pelik untuk mempersiapkan pasangan calon dalam pilkada.
Kesulitan mencari kader yang akan menjadi calon dalam pilkada membuktikan memang parpol kesulitan melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik khususnya ketika berhadapan dengan kandidat petahana yang kuat.
"Dulu kami sempat mengusulkan agar jika dalam masa perpanjangan waktu pendaftaran tetap hanya ada satu kandidat pasangan calon yang diusung, maka pilkada tetap digelar saja dengan pilihan tanding kolom kosong sebagai lawan," jelasnya.
Tapi, kata Titi, harus juga diuji apakah si calon tunggal memiliki elektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan kolom kosong yang ada di surat suara. "Namun pilihan ini nampaknya tidak populer menurut pembuat kebijakan," papar dia.