Media dan Kelas Menengah Harusnya Kritisi Jalannya Pemerintahan
media dan kelas menengah yang seharusnya mengawal dengan kritis jalannya pemerintahan saat ini justru sudah menjadi bagian dari rezim Jokowi-JK.
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panji Anugrah mengatakan dua kelompok masyarakat yaitu media dan masyarakat kelas menengah bertanggungjawab atas tumpulnya daya kritis publik saat ini terhadap pemerintahan.
Pengamat Politik dari Universias Indonesia itu mengatakan, media dan kelas menengah yang seharusnya mengawal dengan kritis jalannya pemerintahan saat ini justru sudah menjadi bagian dari rezim Jokowi-JK.
Sehingga tidak heran sikap kritis media dan kelas menengah menjadi tumpul meski kondisi saat ini dalam berbagai aspek sudah sangat memprihatinkan.
“Ada banyak perbedaan sikap publik terhadap rezim yang sekarang dan rezim sebelumnya. Contoh saja rezim SBY. Kalau di era SBY, media dan kelas menengah itu sangat kritis, dan sikap oposisionalnya sangat jelas. Sementara di era saat ini justru media dan kelas menengah menjadi pendukung rezim. Inilah yang menjadi penyebab meski kondisi lebih buruk, tapi tidak kelihatan kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang masif. Dan ini sangat tidak sehat untuk bangsa maupun kehidupan demokrasi,” ujar Panji ketika dihubungi, Senin (27/7/2015).
Panji pun menjelaskan alasannya mengkategorikan publik hanya pada dua kelompok yaitu media dan kelas menengah.
Publik di Indonesia jelasnya tidak bisa diartikan seluruh masyarakat karena publik atau masyarakat kita secara umum belum bisa memainkan peran sebagaimana di negara-negara maju.
Di Indonesia, publik yang bisa memainkan peran hanyalah media dan kelas menengah dan kelas menengah dimana kelas menengah itu terdiri dari para intelektual, cendikiawan, lembaga swadaya masyarakat, kelompok mahasiswa dan lainnya.
Sementara kelompok yang vokal tidak masuk sebagai penguasa opini dan pengendali partai.
Jokowi nampaknya memahami benar untuk mengabsorsi kekuatan ini sehingga tidak heran rezim saat ini pun pada akhirnya melibatkan kekuatan ini dalam mendukung pemerintahan.
Jokowi menurutnya nampaknya menyadari bahwa koalisi partai saja tidak akan mungkin bisa cukup mendukung rezim yang dipimpinnya.
Hal ini karena kekuatan partai pendukungnya pun tidak signifikan, karena adanya kelompok oposisi, juga karena Jokowi juga sadar sifat politik Indonesia yang elitenya sangat pragmatis,yang bisa bergerak kemana saja.
“Istilahnya Jokowi sadar bahwa politik di Indonesia didasari oleh promiscuous power sharing atau partai politik bisa bercampur dengan siapa saja dan koalisi tidak dibangun berdasarkan kesepakatan. Artinya disini, KIH bisa kabur kapan saja atau KMP bisa bergabung kapan saja. Tidak ada yang mengikat,” katanya.
Dengan kekuatannya ini, KMP pun jelasnya dibuat tidak berkutik. Kekuatan ini jelasnya mampu meredam kekuatan KMP yang seharusnya bisa kritis. Dengan kekuatan Jokowi bisa efektif meredam KMP.
”Coba saja, setiap kali ada elite KMP yang kritis, langsung di bully habis-habisan. KMP pun jadi takut dan oposisi menjadi tidak efektif. Pada akhirnya KMP pun terpaksa mengambil sikap untuk mengikuti apapun keinginan Jokowi. Tapi sayangnya Jokowi sendiri tidak bisa memanage kekuatan yang dia miliki, sehingga tidak heran, semua aspek kehidupan menjadi turun. Bagaimanapun dalam sistem presidensial, seharusnya presidenlah yang harus bertanggung jawab terhadap kondisi, tapi kan kita tidak pernah melihat ada kritik keras pada Jokowi yang dilakukan terang-terangan saat ini,”katanya.
Dia pun melihat sikap rezim Jokowi yang seperti ini tidak jauh berbeda dengan sikap rezim Soeharto di era Orde baru. Bedanya kalau Soeharto mengunakan rezim kekuasaannya dengan instrumen intimidasi, Jokowi melakukannya dengan jabatan.
“Elite sekarang yang berkuasa jebolan dari sekolah politik orba yang terbiasa dengan budaya transaksi. Tradisi ini mereka kembangkan dan sesuaikan, hanya menggunakan alat tukar yang berbeda. Dulu dengan tekanan, sekarang dengan rayuan berupa jabatan. Tapi pada intinya muaranya sama. Namun rezim Soeharto masih lebih unggul karena meski demikian pertumbuhan berjalan, sementara di rezim Jokowi, semua mengalami perlambatan,” katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.