Yusril: Kejaksaan Tak Bisa Bedakan Penyidikan dengan Penyelidikan
Padahal menurut Yusril proses tersebut merupakan proses penyidikan yang dalam melakukannya diperlukan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yusril Ihza Mahendra menilai Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI tidak bisa membedakan proses penyidikan dan penyelidikan dalam menangani kasus Dahlan Iskan.
Dalam uraian jawaban permohonan gugatan praperadilan, Kejaksaan mengaku menemukan bukti permulaan yang cukup yakni keterangan sebelas saksi, dan sejumlah dokumen, dalam proses penyelidikan.
Padahal menurut Yusril proses tersebut merupakan proses penyidikan yang dalam melakukannya diperlukan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
"Kemudian selanjutnya diikuti dengan mencari dan mengumpulkan barang bukti," ujar Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta selatan, Selasa (28/7/2015).
Yusril menilai kejaksaan telah keliru dalam menetapkan kliennya sebagai tersangka. Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Sprindik bernomor Prin-752/0.1/Fd.1/06/2015, tanpa adanya proses penyidikan terlebih dahulu. Tindakan yang dilakukan Kejaksaan tersebut telah melanggar due proces of law, mengabaikan hak asasi pemohon dan roda keadilan.
"Pemohon (Dahlan Iskan) ditetapkan sebagai tersangka terlebih dahulu baru kemudian dicari saksinya dan dikumpulkan buktinya," katanya,
Lebih jauh Yusril menjelaskan seharusnya kejaksaan tidak menyamakan proses penyidikan Dahlan Iskan dan tersangka lainnya dalam kasus pembangunan 21 Gardu Induk di Jawa, Bali, dan Nusa tenggara. Meski setiap tersangka diperiksa berdasarkan Sprindik tersendiri, namun penetapan tersangka Dahlan berdasarkan hasil pengembangan penyidikan tersangka lainnya.
"Dalil termohon (Kejati) yang menyatakan permohonan praperadilan harus dinyatakan gugur berdasarkan pasal 82 ayat 2 KUHAP, tidak berdasarkan hukum," katanya.
Sementara itu pihak Kejati dalam jawaban permohonan gugatan praperadilan kemarin menyatakan proses penetapan tersangka Dahlan Iskan telah sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku. Kasus pengerjaan pembangunan 21 gardu Induk 1610 MVA di Jaringan Jawa, Bali, Nusa Tenggara bermula dari adanya laporan adanya ketidaksesuaian dalam pengerjaan tiga Gardu Induk, yakni Gardu Induk Jatirangon, Jatiluhur Baru, dan Cimanggis II.
"Meskipun pembangunan ketiga gardu induk tersebut tidak terlaksana, akan tetapi pejabat pembuat komitmen melakukan pembayaran seolah olah rekanan telah melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak," ujar, Sunarto, tim hukum Kejaksaan.
Berdasarkan pemeriksaan telah ditemukan bukti permulaan yakni keterangan 11 orang saksi dan 21 dokumen. Dari bukti permulaan tersebut ditemukan adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Dalam pembangunan 21 Gardu Induk yang pembiayaan dilakukan multi yeras dari APBN sebesar 1,063 triliun rupiah tersebut menyeret dua nama yakni, Yusuf Mirand selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Ferdinand Rambing Dien selaku direktut PT Hypermerrindo Yakin Mandiri, perusahaan rekanan Gardu Induk Jatiluhur Baru dan Jatirangon 2.
"Sebagai upaya untuk mencari dan menemukan bukti-bukti, serta pelaku lain yang terlibat diterbitkanlah Sprindik bernomor Prin -912/0.1/FD.1/06/2014 untuk tersangka Ferdinand dan Prin -913/0.1/FD.1/06/2014 untuk Yusuf tertanggal 19 Juni 2014," katanya.
Kejaksaan menilai anggaran yang digunakan untuk pembangunan 21 gardu induk tersebut tidak digunakan secara efektif, efisien, dan hati-hati. Terjadi pelanggaran dalam pengadaan yang mengakibatkan tujuh pembagunan gardu Induk tidak tercapai.
Penyidik juga menemukan bukti terjadinya korupsi dalam pembangunan Gardu Induk 150 KV kadipaten dan pembangunan gardu induk 150 KV New Sanur. Kali ini tiga nama terserat yakni Wiratmoko Setiadji, Tanggul Primandaru, dan Egon. Ketiganya merupakan rekanan pengerjaan pengadaan gardu induk.
Dalam rencana pengerjaan dua gardu tersebut, PPK kembali telah melakukan pembayaran uang muka dan pembayaran termin 1 padahal pembangunan tidak dilaksanakan dan tanah yang duperuntukan untuk ke dua gardu tersebut belum tersedia.
Tidak hanya disitu berdasarkan hasil pengembangan penyidik juga menemukan pelaku lain yakni I Nyoman Sarjana (manajer Konstruksi dan operasi induk Pembangkit dan Jaringan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara), Saifoel Arief, dan Fauzan Yunus (Manajer Unit Pelaksana Konstruksi Jaringan Jawa Bali IV).
"Diduga berperan membuat dokumen yang isinya tidak benar, seolah-olah pekerjaan telah dilaksanakan padahal tanahnya belum tersedia atau dibebaskan," tuturnya.
Tersangka lainnya yakni, Totot Fregattanto, Ahmad Yendra Satriana, Yayus Rusyadi Sastra, Yushan, Endi Purwanto, Arief susilo Hadi terseret karena terlibat dalam Berita Acara Serah Terima Hasil (BSTH) sebagai Panitia Penerima Hasil (PPH). Hasil dari pengembangan penyidikan mengerucut ke sebuah nama yakni Hengky Wibowo sebagai Pejabat pembuat Komitmen tahun 2010/20111.
"Tersangka telah melakukan pelalangan meskipun izin multi years pelaksanaan pekerjaan belum terbit, menandatangani kontrak kerja pengadaan Gardu Induk Jatirangon 2, dan melakukan pembayaran uang muka meskipun tanah untuk kepentingan gardu induk belum tersedia," jelasnya.
Menurutt Sunarto dari bukti bukti yang ditemukan ternyata kasus tidak hanya bermuara pada pejabat pembuat komitmen, melainkan juga hingga Direktur Utama PLN yang saat itu dijabat oleh Dahlan Iskan selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Dahlan diduga terlibat dalam pengajuan permohonan izin kontrak multi years dengan menerbitkan surat fiktif seolah oleh lahan untuk pembangunan gardu induk telah tersedia atau tuntas.
Surat tersebut yakni Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak Kuasa Pengguna Anggaran tentang kebutuhan dana dan pengadaan lahan pada Satuan Kerja Induk Pembangkit dan Jaringan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tertanggal 14 April 2011.
Surat kebutuhan dana dan ketersediaan lahan dalam Satuan kerja dan jaringan yang sama yakni Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tertanggal 8 dan 26 Agustus 2011 dan Surat Kuasa pengguna Anggaran tentang tuntas tanah pada lima Satuan Kerja dan Jaringan di Indonesia tertanggal 19 Oktober 2011.
"Surat surat pernyataan tersebut digunakan sebagai persyaratan untuk mendapatkan pesetujuan izin kontrak multi yeras dari Menteri keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan menteri Keuangan nomor 56/PMK.02/2010," katanya.
Selain itu Dahlan juga diduga melakukan penyimpangan terhadap ketentuan Perpres nomor 54 tahun 2010 untuk pencarian uang muka dan pembayaran atas material yang ada di lokasi.
"Semuanya telah didasarkan pada bukti-bukti yang sebagaimana diatur dalam undang-undang," pungkasnya.