Puluhan Organisasi dan Tokoh Deklarasikan Front Nasional
Semua organisasi dan tokoh yang mendeklarasikan Front Nasional memiliki satu visi dan pandangan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Puluhan organisasi dan tokoh masyarakat menyatukan diri dalam sebuah wadah perjuangan yang diberi nama Front Nasional. Deklarasi Front Nasional ini dilaksanakan di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jalan Proklamasi Jakarta, Rabu (29/7/2015).
Organisasi yang bergabung dalam Front Nasional diantaranya Aliansi Nasionalis Indonesia (Anindo), Pemuda Demokrat 1947, FKPPI, Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Gerakan Relawan Rakyat Prabowo, Laskar Rakyat Jokowi, Genep Dara, Forum Komunikasi 124, Angkatan Muda Marhaen, Kaukus Muda NU, Relawan Desa Nusantara, Gerakan Bela Negara, Komando Pejuang Merah Putih, Ikatan Generasi Muda Kristiani dan Laskar Merah Putih.
Sedang dari kalangan tokoh yang menjadi deklarator diantaranya Letjen MAR (Purn) Suharto, Marsekal Madya (Purn) Ian Santoso, Kol (Purn) A. Sugiyanto, Suko Sudarsono, Yudi Latief, Suryo Susilo, dr. Zulkifli, Edwin H. Soekowati, Lily Wahid, Kristiya Kartika, Samuel Lengkey.
Menurut Letjen MAR (Purn) Suharto, tujuan didirikannya Front Nasional adalah ingin menegakkan kedaulatan dan kemandirian bangsa , dengan kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang sesuai dengan isi dan jiwa Pancasila, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan terciptanya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
“Karena pasca reformasi, seiring dengan menguatnya angin liberalisme, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen. Banyak yang berubah. UUD 1945 tidak asli lagi,” tandas mantan Komandan Jenderal Marinir ini disela-sela acara deklarasi.
Sementara Edwin H. Soekowati menegaskan, semua organisasi dan tokoh yang mendeklarasikan Front Nasional memiliki satu visi dan pandangan, bahwa pasca amandemen itu, yang terjadi bukan proses melengkapi UUD 1945 itu agar senafas dengan kemajuan jaman, tetapi justru upaya mengotak-atik isinya dan membuang segala fondasinya yang berbau pro keadilan dan kesejahteraan rakyat.
"Hasilnya pun gampang ditebak. Sejak amandemen, kita menemui kembali bentuk-bentuk kolonialisme lama, yang dulu diperangi founding father kita, dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, dan budaya,” terang Ketua Umum Anindo yang juga mantan anggota anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 1999 ini.
Karena, sambung mantan anggota MPR/DPR Fraksi PDI periode 1987-1992 ini, Amandemen UUD 1945 salah kaprah. Alih-alih mengikut semangat reformasi, amandemen justru menjadi “kuda tunggangan” agenda neo-kolonialisme.
Yang dituntut reformasi adalah adendum, yaitu penambahan klausul tanpa mengubah naskah aslinya, tetapi yang dijalankan oleh kaum reformis, yang dibelakangnya adalah lembaga-lembaga asing, mengubah substansi UUD 1945. Yang bermasalah kan cuma soal masa jabatan Presiden, tetapi kenapa Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan diobrak-abrik juga.