Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pendidikan, Ideologi, Politik

Usaha ini patut mendapat perhatian karena memperlihatkan dua segi kepentingan yang berbeda, tetapi berhubungan.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Pendidikan, Ideologi, Politik
KOMPAS/DIDIE SW
Ilustrasi 

Oleh: Ignas Kleden

TRIBUNNEWS.COM - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan baru saja meluncurkan Sekolah Partai Calon Kepala Daerah, yang setelah pelaksanaan pilkada menurut rencana akan dilanjutkan dengan Sekolah Partai Kepala Daerah.

Usaha ini patut mendapat perhatian karena memperlihatkan dua segi kepentingan yang berbeda, tetapi berhubungan. Pada tingkat politik mikro terdapat hubungan di antara para calon kepala daerah dengan pilkada dan PDI-P. Pada tingkat politik makro dapat dilihat hubungan di antara pendidikan, ideologi, dan politik.

Hubungan sekolah ini dengan pilkada tampak dari perhatian kepada strategi dan manajemen pemenangan pilkada, pelatihan berpidato dan berdebat, teknik merebut pikiran dan menarik hati rakyat, perumusan kebijakan yang prorakyat, serta peningkatan kompetensi dan integritas dalam mengelola pemerintahan.

Selanjutnya, dalam hubungan dengan partai, ditekankan pemahaman ideologi partai, konsolidasi partai dalam menghadapi pilkada, dan sumpah Panca Prasetya kepada partai, yang intinya melibatkan para calon kepala daerah dalam komitmen kepada tiga soal, yaitu melaksanakan pilkada tanpa intimidasi, tanpa politik uang dan tanpa kejahatan pemilu lainnya, mewujudkan pemerintahan yang bersih apabila terpilih, serta bersedia mengundurkan diri dari jabatan kepaladaerah atau wakil kepala daerah jika mengingkari isi sumpah dan siap menerima sanksi organisasi dari DPP partai.

Di antara berbagai perbaikan yang kurang lebih teknis sifatnya, hal yang akan menemui banyak kesulitan adalah pemahaman tentang ideologi partai. Partai-partai politik Indonesia mempunyai berbagai praktik politik, tetapi hampir tak ada yang melakukan praksis politik. Praksisjuga suatu bentuk praktik, tetapi praktik yang didasarkan kepada suatu teori, suatu doktrin atau pendirian ideologis. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah jenis praksis apa yang hingga sekarang dilakukan PDI-P yang membuat orang melihat partai ini sebagai partai yang memihak orang kecil? Ajaran-ajaran Bung Karno, misalnya, sering disebut sebagai referensi penting. Namun, internalisasi nasionalisme Bung Karno tak mungkin dilaksanakan hanya dengan menghafal beberapa puluh pidatonya, betapa pun menarik latihan itu. Apa yang perlu dilakukan adalah mencari bentuk praksis yang mengubah nasionalisme sebagai doktrin menjadi nasionalisme sebagai perilaku politik dan bagaimana nasionalisme direalisasikan dalam dunia yang tidak bisa menghindar dari proses globalisasi seperti sekarang.

Hal ini menjadi semakin penting dan aktual apabila kita berbicara pada tingkat politik makro tentang hubungan pendidikan, ideologi, dan politik. Politik Etis pada awal abad XX telah mendorong dibukanyasekolah-sekolah modern model Eropa di Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial. Dalam praktiknya, watak kolonial yang ada dalam pendidikan ini (perbedaan kelas sosial, warna kulit) dan tujuan pendidikan untuk melestarikan penjajahan di tanah koloni menimbulkan reaksi di kalangan pribumi untuk membuka sekolah mereka sendiri yang tidak mengikuti rencana persekolahan kolonial dan tidak bergantung kepada subsidi pemerintahan kolonial, untuk mengembangkan kurikulum sendiri yang bertujuan membentuk kesadaran nasional pribumi dan meningkatkan kecerdasan dan martabat mereka.

Berita Rekomendasi

Pemerintah kolonial menyebutnya wilde school atau sekolah liar. Di antara sekolah-sekolah itu ada beberapa yang berkembang luas dan mempunyai pengaruhbesar, seperti Taman Siswa yang dipimpin Ki Hajar Dewantara, dan INS Kayutanam di Sumatera Barat yang dipimpin oleh SM Latif.

Sekolah politik

Tulisan ini ingin memberi perhatian khusus kepada sekolah-sekolah atau bentuk pendidikanyang dilakukan oleh para pemimpin politik dalam perjuangan kemerdekaan dan bagaimana para pemimpin politik itu terlibat dalam pekerjaan pendidikan.Setelah Soekarno sebagai pimpinan PNI ditangkap pada 1929 serta dinyatakan bersalah dan dihukum penjara pada 1930, beberapa kelompok di bawah pimpinan Hatta dan Sjahrir berusaha dari tahun 1931 hingga 1932 mendirikan PNI Baru, sebagai Pendidikan Nasional Indonesia. Tujuan PNI Baru adalah memberikan pendidikan politik berdasarkan apa yang dilihatnya sebagai kekurangan PNI lama (Partai Nasional Indonesia) di bawah pimpinan Soekarno.

Menurut Hatta, PNI yang dipimpin Soekarno partai kaum terpelajar, partai kaum intelek, karena hanya kaum terpelajar yang dianggap sebagai pemimpin. Hatta menulis "Pendidikan Nasional Indonesia mengambil pelajaran dari keadaan yang lama, bahwa partai tidak bisa kuat, kalau ia hanya partai di tangan pemimpin-pemimpin saja. Dan ia mempunyai keyakinan bahwa Indonesia Merdeka hanya dapat dipertahankan kalau nasibnya ditanggung oleh rakyat bersama. Indonesia tidak bisa kuat dan merdeka kalau rakyat hanya tahu menerima perintah saja". Partai yang hanya tergantung pemimpinnya akan bubar jika pemimpinnya ditangkap dan tak ada anggota lain yang sanggup mengambil alih kepemimpinan.

Karena itulah pendidikan ini harus dapat membentuk kader yang punya pengetahuan dan keahlian yang amat diperlukan dalam mengambil alih administrasi dan birokrasi pemerintahan apabila tenaga-tenaga administratif kolonial sudah meninggalkan Hindia Belanda setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya. Ini reaksi Hatta dan Sjahrir terhadap PNI Lama yang sangat mengandalkan agitasi dalam perjuangan politiknya. Menurut pendapat keduanya, agitasi diperlukan sebagai pembuka jalan untuk mendapat massa pendukung. Namun, agitasi saja tidak cukup kalau tidak disertai oleh pendidikan kader-kader yang mempunyaikeahlian, keterampilan, dan keyakinan.

Dalam kata perkenalan untuk berdirinya Pendidikan Nasional Indonesia Hatta menulis "Sifat perkumpulan kita pendidikan,karena memang maksud kita mendidik diri kita. Politik di negeri jajahan terutama berarti pendidikan. Politik menurut pengertian biasa tidak dapat dijalankan kalau rakyat tidak mempunyai keinsafan dan pengertian". Hal ini penting karena keinsafan dan pengertian membuat semangat orang menjadi merdeka, biarpun Indonesia masih diperintah orang asing. Kalau Hatta dan Sjahrir melihat pentingnya perimbangan antara kaum terpelajar dan rakyat dalam menjalankan kepemimpinan, Soekarno justru setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya melihat pentingnya perimbangan antara pria dan wanita dalam menjalankan kepemimpinan politik.

Setelah pemerintah pusat RI pindah tempat dari Jakarta ke Yogyakarta, Soekarno mengadakan kursus dua mingguan yang dinamainya "kursus wanita". Persoalan wanita ini perlu dibahas secara mendalam karena, dalam pandangan Soekarno ketika itu, "soal wanita adalah soal masyarakat". Ini artinya masyarakat tidak dapat didorong maju kalau tidak ada pemecahan yang memuaskan atas persoalan wanita ini. Lagi pula, menurut Soekarno, "kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat (…………………) jika kita tidak mengerti soal wanita". Kuliah dan ceramah dalam kursus wanita ini kemudian dibukukan dengan judul Sarinah.

Halaman
12
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas