Pendidikan, Ideologi, Politik
Usaha ini patut mendapat perhatian karena memperlihatkan dua segi kepentingan yang berbeda, tetapi berhubungan.
Editor: Hasanudin Aco
Diskriminasi jender
Mengherankan bahwa pada pertengahan tahun 1940-an Soekarno sudah membahas secara mendalam tema-tema tentang kaum perempuan yang baru mendapat perhatian para aktivis feminis dan studi akademis di Indonesia tahun 1980-an hingga sekarang. Persoalan yang menarik perhatian Soekarno adalah kemerdekaan kaum perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi yang dialami seseorang hanya karena dia perempuan.
Diskriminasi itu terlihat dalam kecilnya kesempatan bagi kaum perempuan mendapat pendidikan yang mereka kehendaki, pembagian kerja domestik yang amat memberatkan perempuan karena kerja mereka dalam rumah tangga tak kenal jam kerja dan tak dapat kompensasi keuangan, terbatasnya lapangan kerja bagi perempuan di sektor formal dan publik, serta kenyataan bahwa mereka menerima upah lebih kecil dari laki-laki untuk jenis pekerjaan sama.Soekarno mengutip dua baris sajak seorang penyair Inggris: man works from rise to set of sun/woman’s work is never done, yang diterjemahkannya sendiri: lelaki kerja dari matahari terbit sampai terbenam/perempuan kerja tiada hentinya siang dan malam.
Dia mencoba menguraikan secara kritis sebab-musabab diskriminasi ini. Alasan hukum kodrat yang membedakan laki-laki dan perempuan ditolaknya. Kodrat tak akan melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Perbedaan seksual dan perbedaan konstitusi tubuh tak harus membawa orang kepada diskriminasi jender. Perbedaan dalam peran dan hak-hak adalah ciptaan masyarakat yang diwakili kaum laki-laki untuk mendapatkan hak istimewa dalam ekonomi dan status lebih tinggi secara sosial. Alasan biologis yang mengatakan volume otak perempuan lebih kecil dari laki-laki juga ditolaknya.
Dia menunjukkan statistik hasil penelitian beberapa biolog yang menunjukkan secara rata-rata berat otak kaum laki-laki berada di antara 1.325 gram-1.399 gram, sementara otak perempuan 1.183 gram-1.252 gram. Keberatan terhadap data ini ada dua. Pertama, laki-laki lebih besar otaknya, tetapi juga lebih besar badannya. Kalau rata-rata berat otak dibagi berat tubuh hasilnya 21,6 gram per kg tubuh laki-laki. Sementara kalau rata-rata berat otak perempuan dibagi berat tubuh mereka hasilnya 23,6 gram per kg tubuh perempuan. Artinya, rata-rata berat otak perempuan dibagi berat tubuhnya lebih tinggi dari berat otak laki-laki.
Keberatan kedua, tingkat kecerdasan seseorang sering tak ada hubungannyasecara langsung dengan volume dan berat otaknya. Ahli matematika dan ahli filsafat Jerman, Leibniz, berat otaknya hanya 1.300 gram; ahli fisika, Bunsen, 1.295 gram; dan kampiun politik Perancis, Gambetta, 1.189 gram. Seorang peneliti lain menemui seorang kuli yang berat otaknya 2.222 gram. Dengan demikian, gugur pula mitos bahwa kecerdasan laki-laki lebih tinggi dari kecerdasan perempuan. Masih ada banyak mitos lain yang diuraikan Soekarno yang tak bisa dibahas di sini.
Dia kemudian meninjau gerakan perempuan di Barat yang dibaginya menjadi tiga angkatan. Pertama, gerakan istri-istri para hartawan yang fokus perhatiannya membuat dirinya tetap menarik dan menyenangkan suami mereka. Mereka meningkatkan kemampuan memasak, menjahit, berhias, untuk menyempurnakan keperempuanan mereka. Status patriarkis suami tak diganggu gugat. Kedua, gerakan kaum feminis yang bertujuan mencapai persamaan hak dengan laki-laki dalam pekerjaan dan hak pilih. Tokoh yang sangat terkenal pada awal feminisme adalah Abigail Smith Adams, yang kemudian menjadi istri John Adams, presiden kedua Amerika Serikat. Ketiga, gerakan perempuan dalam kerangka sosialisme, seperti yang diteorikan August Bebel di Jerman, bahwa perjuangan wanita adalah perjuangan kelas menentang kapitalisme.
Soekarno tidak mengusulkan cara mana yang sebaiknya diterapkan di Indonesia, tetapi amat mengusulkan bahwa perempuan harus dibebaskan dari diskriminasi yang menghambat kemajuan mereka dan menghambat sumbangan yang dapat mereka berikan kepada kemajuan bangsa.
Soekarno melihat perlunya perimbangan antara laki-laki dan perempuan, sementara Tan Malaka melihat perlunya menegakkan martabat dan hak-hak orang yang miskin dan tertindas oleh perbedaan kelas. Dia memilih menjadi guru bagi anak-anak kuli kontrak yang bekerja di 500-an onderneming perkebunan tembakau di Deli, dengan mengajar di perkebunan itu mulai Desember 1919 hingga Juni 1921. Usahanya mendapat tentangan keras dari tuan-tuan perkebunan, yang beranggapan bahwa anak-anak yang bersekolah lebih banyak menimbulkan masalah dan keributan di perkebunan, dibandingkan kuli-kuli yang menjalankan tugas dengan diam-diam dan patuh. Tan Malaka melihat kemiskinan dan kebodohan adalah lingkaran yang melestarikan orang-orang kecil dalam penindasan terus-menerus. Sekolah dapat menembus lingkaran ini dan membuat seorang yang membaca dan menulis melihat nasib sebagai sesuatu yang dapat dibangunnya sendiri dan bukan oleh orang lain.
Tiga contoh ini kiranya cukup untuk mengilustrasikan hubungan di antara pendidikan dan politik, serta bagaimana seorang pemimpin menerjemahkan ideologi secara khas bagi perjuangan politiknya. Hatta dan Sjahrir melihat kemerdekaan sebagai bebasnya seseorang dari ketergantungan mutlak kepada pemimpin politik dan adanya keterampilan untuk bekerja. Soekarno melihat kemerdekaan sebagai terlepasnya kaum perempuan dari jebakan diskriminasi, yang membuat mereka tak bisa memberikan sumbangan yang dapat mereka berikan untuk kemajuan. Tan Malaka melihat kemerdekaan sebagai terlepasnya orang dari jebakan kebodohan dan kemiskinan, dengan empat perangkap yang melestarikan orang miskin sebagai pihakyang destituteatau miskin papa sedari awal, yang dispossessed atau dirampas harta miliknya, yang displaced atau kehilangan tempat tinggal, dan yang discriminated, yaitu yang dirampas hak-haknya secara hukum dan politik.
Mungkin ada gunanya pemimpin politik masa sekarang mempelajari lagi bagaimana para pendiri Republik membangun dan merealisasikan ideologi agar pembicaraan politik tentang ideologi dewasa ini tidak menjadi bunyi nyaring yang keluar dari tong kosong.
Ignas Kleden
Sosiolog; Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Pendidikan, Ideologi, Politik".