Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemerintah Bantah Diskotek, Klab Malam, dan Panti Pijat Diberi Keringanan Pajak

Selama ini hasil pemajakan atas jasa kesenian dan hiburan telah dikelola pemerintah daerah sebagai Pendapat Asli Daerah (PAD)

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Pemerintah Bantah Diskotek, Klab Malam, dan Panti Pijat Diberi Keringanan Pajak
Ilustrasi diskotek 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak memberikan klarifikasi terkait dengan tidak dikenakannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa kesenian dan hiburan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PMK-158).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Teguh Budiharto menegaskan aturan ini diterbitkan guna menghindari dua kali pemajakan atas obyek yang sama (Double Taxation) serta dalam rangka harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

"Maka atas jasa kesenian dan hiburan tidak dikenai PPN sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN)," jelasnya dalam keterangan tertulis kepada Tribunnews.com, Senin (24/8/2015).

Dijelaskan, PMK-158 ini diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum atas jenis jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai PPN, sehingga diharapkan pemerintah daerah dapat lebih intensif dan tidak terdapat keraguan untuk mengenakan pajak daerah atas jasa tersebut.

Karena itu, ditegaskan tidak tepat pemberitaan dan persepsi sebagian kalangan masyarakat bahwa pemerintah memberikan kelonggaran perpajakan bagi kegiatan-kegiatan hiburan dan kesenian termasuk klab malam, diskotik, dan panti pijat.

Sebab, kata dia, jasa kesenian dan hiburan merupakan obyek pajak daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

Selama ini hasil pemajakan atas jasa kesenian dan hiburan telah dikelola pemerintah daerah sebagai Pendapat Asli Daerah (PAD) dengan tarif yang bervariasi, disesuaikan dengan kebijakan pemerintah daerah masing-masing.

Berita Rekomendasi

Sebagai contoh di DKI Jakarta, imbuhnya, untuk pajak hiburan berupa diskotik, karaoke, klab malam, panti pijat, dan mandi uap dan spa, dikenakan tarif sebesar 20 persen. Sementara atas objek tersebut di Surabaya dikenakan dengan tarif sebesar 35 persen. Sesuai UU PDRD tersebut di atas, penyelenggaraan hiburan dapat dikenai pajak daerah dengan tarif sampai dengan 75 persen.

"Jadi, untuk menghindari dua kali pemajakan atas obyek yang sama serta dalam rangka harmonisasi dengan UU PDRD, maka atas jasa kesenian dan hiburan tidak dikenai PPN," tegasnya.

Ketentuan
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 158/PMK.010/2015 yang ditandatangani Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro pada tanggal 12 Agustus 2015 lalalu, telah menetapkan sejumlah jenis jasa kesenian dan hiburan dalam kelompok yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai itu meliputi semua jenis jasa yang jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan,” bunyi Pasal 2 ayat (1) PMK tersebut, seperti dilansir laman Setkab.

Adapun jenis kesenian dan hiburan yang termasuk tidak dikenai PPN itu adalah tontonan film, tontonan pagelaran kesenian, tontonan pagelaran musik, tontonan pagelaran tari, dan /atau tontonan pagelaran busana.

Selain itu tontonan kontes kecantian, tontonan kontes binaraga, dan tontonan kontes sejenisnya, tontonan berupa pameran, diskotek, karaoke, klab malam, dan sejenisnya. Tontonan pertunjukan sirkus, tontonan pertunjukan akrobat, dan tontonan pertunjukan sulap, begitu pula tontonan pertandingan pacuan kuda, tontonan pertandingan kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan, aerta tontonan pertandingan olahraga.

“Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 3 PMK No. 158/PMK.010/2015, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal 13 Agustus 2015 itu

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas