Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komunikasi Kabinet Kerja

Koordinasi menjadi kata kunci yang relevan diperhatikan. Dengan begitu, semua elemen yang menggerakkan roda pemerintahan tak berjalan serampangan.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Komunikasi Kabinet Kerja
KOMPAS/DIDIE SW
Ilustrasi 

Oleh: Gun Gun Heryanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hilang satu, tumbuh seribu isu. Begitulah kiranya gambaran dinamika politik nasional kita terutama terkait dengan eksistensi Kabinet Kerja Jokowi. Hampir tak ada ruang tersisa dari sorotan publik, pro-kontra, bingkai pemberitaan media, dan pergunjingan propaganda di beragam kanal komunikasi elite dan warga.

Seusai merombak kabinet secara terbatas, menyeruak harapan di masyarakat, para menteri bisa fokus bekerja merealisasikan sejumlah agenda dan memastikan optimisme tumbuh kembang dalam basis fundamental birokrasi yang dipimpin Jokowi. Salah satu fungsi penting yang harus serius ditangani Jokowi dengan sejumlah menterinya adalah optimalisasi tata kelola komunikasi pemerintahan.

Koordinasi menjadi kata kunci yang relevan diperhatikan. Dengan begitu, semua elemen yang menggerakkan roda pemerintahan tak berjalan serampangan.

Konteks komunikasi

Kasus Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli menjadi studi kasus yang menarik dalam telaah aktor atau komunikator politik di Kabinet Kerja. Kritik tajam dalam pernyataan terbukanya kepada media tentang rencana pembelian pesawat Airbus A350 oleh Garuda serta proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) mencengangkan banyak kalangan, mungkin termasuk di lingkar utama Istana. Jika memakai pendekatan Dominic Ifanta dalam tulisannya Argumentativeness and Verbal Aggressiveness (1996), tindakan Rizal Ramli bisa dikategorikan sebagai agresi khas orang atau kelompok pengkritik di luar kekuasaan.

Biasanya, ada dua sifat agresi yang dominan pada diri pengkritik, yakni kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan tendensi mengajak bercakap-cakap tentang topik-topik kontroversial. Sementara keagresifan verbal adalah kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego, atau konsep diri di mana argumen bernalar.

BERITA TERKAIT

Di alam demokrasi yang menjadikan kebebasan berpendapat sebagai nilai fundamental, sesungguhnya tindakan seperti yang dilakukan Rizal Ramli bukan masalah besar. Namun, dengan catatan jika ia berposisi sebagai ekonom independen atau kritikus di luar birokrasi pemerintahan.

Sangat mungkin, secara substansial isi pesan dalam bungkus agresivitas verbal Rizal Ramli itu ada benarnya. Misalnya, memperingatkan keras Garuda jika menggelontorkan dana untuk membeli sejumlah pesawat Airbus A350. Pun demikian dengan kritik Rizal soal megaproyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW yang dianggapnya tak realistis. Seperti apa relasi kuasa di balik konstruksi makna yang didistribusikan Rizal kepada khalayak, hanya dia dan pihak-pihak tertentu yang tahu. Siapa yang sesungguhnya dibidik dalam kritik Rizal dan adakah back up dukungan dari orang atau kekuatan tertentu yang menjadi struktur tak terlihat di balik pernyataan Rizal? Sangat spekulatif dan multitafsir, meski jika ditelisik bisa saja dipetakan.

Yang menjadi masalah utama adalah meletakkan agresivitas verbal Rizal Ramli dalam konteks komunikasi politik Kabinet Kerja. Ini berdampak pada munculnya masalah baru, yakni etika dan prosedur komunikasi serta manajemen birokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi.

Dalam telaah Dan Nimmo di bukunya Political Communication and Public Opinion in America (1996), mustahil seorang pemimpin dapat mengoordinasikan tata nilai politik dan idealisasi sosial secara seimbang tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi politik. Hal yang dituntut pasti dari Jokowi adalah kinerja optimal Kabinet Kerja, sehingga pemerintah harus hadir dalam denyut keseharian masyarakat dan menjadi bagian utuh penyelesaian masalah.

Jika para menteri sibuk silang sengketa dengan sesama kolega atau menteri koordinator terkesan memprovokasi untuk berdebat secara terbuka dengan wapres, tentu bukan hanya tidak elegan, tetapi juga menimbulkan masalah baru. Hal seperti ini bisa mengganggu koordinasi, menciptakan kesenjangan komunikasi, dan sangat mungkin merusak harmoni di antara para menteri di Kabinet Kerja. Jika tidak hati-hati dalam manajemen konfliknya, perilaku sejenis ini juga berpotensi merusak persepsi positif dan reputasi pemerintahan Jokowi. Kritik Rizal secara prosedural dan etis akan lebih tepat disampaikan di rapat kabinet, bukan secara sporadis dilempar kepada publik karena berpotensi digoreng "setengah matang" oleh banyak pihak hingga akhirnya dikonsumsi secara tak sehat oleh masyarakat awam.

Meminjam konstruksi berpikir teori manajemen privasi komunikasi dari Petronio dalam Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclosure (2002), harusnya Rizal memiliki pilihan dan peraturan sendiri mengenai apa yang harus dikatakan dan apa yang harus disimpan dari publik berdasarkan "kalkulus mentalnya". Rizal wajib mempertimbangkan kriteria penting tidaknya sesuatu yang mau dia sampaikan kepada publik mengingat konsekuensi pernyataannya bagi tugas pokok kabinet dan reputasi pemerintahan tempat dia bekerja. Jika secara argumentatif kritik Rizal masuk akal dan visioner, tentu harus Rizal perjuangkan di rapat-rapat kabinet, bukan berdialektika secara prematur di media massa. Terlebih dalam sistem presidensial, tugas menteri membantu presiden untuk menyukseskan sejumlah agenda yang telah dicanangkan, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Kerja vs wacana

Halaman
12
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas