Kejaksaan Harusnya Periksa Pejabat BPPN dan BTN Terkait Kasus Hak Tagih
Sebab, baik BPPN dan BTN mengatur lelang penjualan piutang tersebut
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Penyelamatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Bank BTN seharusnya diselidiki terlebih dahulu terkait kasus dugaan korupsi penjualan hak tagih atau pengalihan piutang (Cessie) pada BPPN yang menyeret PT Victoria Securities International Corporation (VSIC).
Sebab, baik BPPN dan BTN mengatur lelang penjualan piutang tersebut.
"Pejabat publiknya dulu diselidiki, jangan perusahaannya karena dapat menggangu stabilitas investasi nanti. Dilihat nanti pihak yang sudah berinvestasi malah dikriminalisasi, tanpa ada penyelidikan dulu terhadap pejabat publiknya," kata Direktur Center of Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi di Jakarta, Kamis(27/8/2015).
Menurut Uchok, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus melakukan teguran kepada Jaksa Agung terkait penyelidikan kasus hak tagih BPPN tersebut.
Pasalnya, dugaan salah geledah tim satuan tugas khusus Kejaksaan Agung pimpinan Sarjono Turin sebagai tindakan yang melangkahi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Dalam sejarahnya Kejagung ini jarang melakukan penggeledahan. Ini tanpa koordinasi dengan otoritas terkait lalu geledah," kata Uchok.
"Harusnya OJK marah, BI marah, tapi kenapa diam, OJK harusnya bikin surat, tanya kenapa tidak diajak, ini kan wilayah OJK. Kalau ada koordinasi baru itu serius. Kalau serius sesuai prosedur," tambah Uchok.
Untuk diketahui, perkara dugaan korupsi penjualan hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bermula saat sebuah perusahaan bernama PT Adyaesta Ciptatama meminjam sekitar Rp266 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990.
Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukkan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang Adyaesta. Victoria Securities International Corporation (VSIC) kemudian membeli aset itu dengan harga Rp 32 miliar.
Seiring waktu, pihak Adyaesta ingin menebus aset tersebut, namun, VSIC menyodorkan nilai Rp2,1 triliun atas aset itu. Pasalnya, nilai utang tersebut setelah dikalkulasi dengan jumlah bunga dan denda, saat ini sudah bernilai Rp3,1 triliun.
Pada 2013, pihak Adyaesta melalui kuasa hukumnya Jhonson Panjaitan kemudian melaporkan VSIC ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset yang dinilai merugikan negara.
Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.