GMKI Prihatin Berita Bohong Soal PGI Menyebar di Media Online
Berita tersebut bersumber dari kicauan akun Twitter FPI, tanpa menyebutkan dengan jelas nama sejumlah pendeta yang dimaksud
Editor: Yudie Thirzano
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah media daring (online) beberapa hari lalu memberitakan bahwa sejumlah pendeta yang tergabung dalam Persatuan Gereja Indonesia (PGI) telah mendatangi markas DPP Front Pembela Islam (FPI) pada Kamis 13 Agustus 2015 untuk membahas toleransi keberagamaan di Indonesia.
Berita tersebut bersumber dari kicauan akun Twitter FPI, tanpa menyebutkan dengan jelas nama sejumlah pendeta yang dimaksud.
Menanggapi hal tersebut, Pdt. Krise Gosal selaku Wakil Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada akun resmi PGI di sosial media telah melakukan klarifikasi. Klarifikasi PGI menegaskan bahwa kunjungan yang diberitakan oleh beberapa media tersebut tidak ada kaitannya dengan PGI.
“Klarifikasi tersebut menunjukkan bahwa media-media online telah terbawa arus pembohongan publik melalui berita palsu,” tegas Arnold Panjaitan, Ketua (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) GMKI Cabang Surabaya.
Seharusnya, menurut Arnold, pertumbuhan media online di Indonesia dibarengi dengan pemberitaan yang profesional. Namun pada kenyataannya, media online seringkali melakukan pemberitaan secara semena-mena dengan mengabaikan kaidah jurnalistik.
“Pemberitaan dengan sekedar merujuk pada akun Twitter FPI tanpa cek dan ricek pada pihak yang lain menunjukkan tidak profesionalnya jurnalis yang melakukan pemberitaan. Kami berharap PGI terus berkomunikasi dengan ormas-ormas yang berkomitmen pada kesatuan bangsa,” ujar Arnold.
Secara terpisah Victor Imanuel Nalle, Ketua Pusat Kajian Konstitusi dan Pancasila Universitas Katolik Darma Cendika (PK2P UKDC) menegaskan perlunya jurnalis media online untuk menghindari pemberitaan bohong. Kebebasan pers tidak seharusnya merugikan orang lain demi popularitas media.
Menurut Victor, berita bohong oleh media-media online yang tidak kredibel seringkali dimanfaatkan untuk memicu konflik horizontal. Pemberitaan Tolikara juga menunjukkan bahwa media online dalam situasi konflik bukannya membawa prinsip jurnalisme pendamaian tetapi justru jurnalisme provokatif.