Jurnalisme Damai, Mengurai Konflik, Merajut Kebinekaan
Jurnalis tak sekadar memotret kejadian, tetapi adalah seorang produsen realitas sosial
Editor: Yudie Thirzano
TRIBUNNEWS.COM - JAKARTA -
Aku telah datang di daerah-daerah Islam. Aku telah mengunjungi daerah-daerah luas yang rakyatnya Protestan.
Aku telah mengunjungi daerah-daerah luas yang rakyatnya Katolik. Aku sering berada di tengah-tengah rakyat kita yang beragama Syiwa-Buddha.
Aku sering didatangi oleh utusan-utusan dari daerah Dayak, aku sering menerima utusan-utusan dari Irian Barat.
Dan dari apa yang kudengar dan kulihat dan kuperhatikan itu semua, aku dengan penuh keyakinan dan ketandasan di sini berkata: satu-satunya dasar negara yang dapat mempersatukan bangsa kita yang beraneka-warna dan beraneka-agama itu ialah dasar Pancasila.
Ucapan itu disuarakan pendiri negara ini, Soekarno, pada 17 Agustus 1954.
Dalam pidato tersebut, ia seolah bisa menebak negeri ini akan memasuki fase konflik lantaran keberagaman yang dimiliki.
Pancasila tak dimaknai lagi, Bhinneka Tunggal Ika pun tinggal slogan yang terpampang pada pita merah putih yang dicengkeram oleh burung garuda.
Konflik berturut-turut terjadi di Tanah Air. Isu perbedaan, baik suku, agama, maupun ras, dimainkan sebagai pemicu perseteruan yang berujung pada kerusuhan.
Entah bagaimana konflik Poso pada 1999 yang bermula dari masalah antar-anak muda meluas dan kemudian dikenal masyarakat banyak sebagai persoalan antar-agama.
Berbagai langkah untuk mendinginkan suasana ditempuh. Pers menjadi salah satu sarana yang dipertimbangkan.
Pada 2001, jurnalis dari dua belah pihak yang bertikai diberikan pelatihan terkait dengan jurnalisme perdamaian hingga dibentuk sebuah media centre untuk saling berbagi pemberitaan.
Isi pemberitaan pun tak lagi mengulas seputar jumlah korban dari tiap-tiap pihak yang justru dapat memancing amarah untuk balas dendam. Namun, lebih fokus pada tragedi kemanusiaan bahwa semua pihak menderita.
Kehilangan keluarga dan tempat tinggal adalah gambarannya.