Neotribalisme
Setelah 70 tahun merdeka, bangsa Indonesia perlu membaca ulang moto dan realitas sosial Bhinneka Tunggal Ika.
Editor: Hasanudin Aco
Memasuki 70 tahun kemerdekaan, kita bukannya merayakan kebanggaan sebagai masyarakat dan bangsa yang dianugerahi keragaman nabati, hayati, dan kultural yang sedemikian melimpah, melainkan pertengkaran dan keluh kesah akibat kurang mampu memanfaatkan dan mengendalikan anugerah dan warisan kekayaan bangsa, termasuk mengisi amanat kemerdekaan.
Neotribalisme partai politik
Di Indonesia, secara ikonik neotribalisme yang dimaksudkan oleh Celia de Anca mungkin saja tecermin dalam komunitas partai politik. Komunitas partai politik ini memiliki daya tarik bagi warga masyarakat untuk berhimpun dan membangun identitas baru dalam bingkai keindonesiaan dengan menyimpan agenda politik dan ekonomi yang kental.
Partai-partai politik besar cenderung semakin inklusif, longgar, tidak menonjolkan identitas etnis dan agama. Para kadernya pun sering melakukan akrobat kutu loncat. Militansi mereka lebih didasari motif kalkulasi kekuasaan dan ekonomi, bukannya keterikatan etnis dan agama.
Jadi, jika neotribalisme partai politik ini tidak diperkuat oleh penerapan prinsip profesionalisme, meritokrasi, dan etika, jangan-jangan yang terjadi adalah neotribalisme dalam konotasinya yang negatif. Sebuah kerumunan orang-orang yang haus dan lapar akan kekuasaan dan sumber ekonomi, bukan lagi sebagai penyangga dan pejuang bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Partai politik lalu terjatuh menjadi bagian dari problem, bukannya solusi bangsa.
Sebuah catatan kecil terhadap buku Beyond Tribalism adalah fenomena Tionghoa perantauan. Mereka tetap memiliki ikatan kuat dengan identitas primordialnya, tetapi dalam waktu yang sama mereka mengembangkan prinsip profesionalisme dan melakukan bisnis secara rasional. Secara etnis mereka masih eksklusif, tetapi dari sisi bisnis mereka inklusif. Mungkin setia pada nasihat Khonghucu, U Hao, berbaktilah kepada orangtua, Ai Kwo, cintailah negaramu, dan ingat, di empat penjuru lautan semuanya adalah bersaudara.
Mereka melakukan diaspora ke seluruh dunia dengan bendera bisnis dan budaya, bukan senjata seperti yang dilakukan Barat yang kadang mengingatkan kenangan pahit semasa Perang Salib.
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Neotribalisme".