Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

30 Persen Komisioner Ombudsman Harus Diisi Perempuan

"Selain itu perempuan lebih care, dan lebih banyak mengurus, melayani dan sensitif terhadap kebutuhan."

Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Y Gustaman
zoom-in 30 Persen Komisioner Ombudsman Harus Diisi Perempuan
Tribunnews.com/Randa Rinaldi
Peluncuran laporan tim gabungan advokasi untuk pemulihan hak-hak pengungsi Ahmadiyah di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (8/12/3014). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Transparency International Indonesia (TII), Emmy Hafidz, mendorong kuota 30 persen perempuan sebagai komisioner Ombudsman diperbanyak.

Menurut Emmy, Ombudsman merupakan lembaga strategis dalam pengawasan pelayanan publik, sehingga harus diisi perempuan yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan laki-laki.

"Kelebihan perempuan antara lain lebih peka terhadap pelayanan publik. Selain itu perempuan lebih care, dan lebih banyak mengurus, melayani dan sensitif terhadap kebutuhan. Yang tak kalah penting, perempuan tidak terlalu rakus dalam meminta imbalan terkait pelayanan,” ujar Emmy di Jakarta, Jumat (25/9/2015).

Meski porsi perempuan harus diperbanyak, tidak lantas proses seleksi komisioner berjalan ala kadarnya. Bagaimanapun kualitas komisioner harus diperhatikan betul apalagi calon perempuan.

"Jika memang tidak memenuhi kualifikasi, tentu saja jangan dipaksakan hanya karena yang bersangkutan adalah seorang perempuan. Harus dilihat track record dan kualitasnya,” kata Emmy.

Pengamat politik Arbi Sanit prihatin minimnya minat perempuan menjadi Komisioner Ombudsman. Padahal, seleksi ini menjadi pintu perempuan melawan diskriminasi yang kerap dialami perempuan dalam pelayanan publik.

Berita Rekomendasi

"Setidaknya lima dari sembilan Komisioner ORI harusnya diisi perempuan. Dengan begini, Ombudsman bisa lebih efektif memperjuangkan pengaduan publik yang sifatnya diskriminatif terhadap perempuan," tegas Arbi.

Arbi mencontohkan, dalam pembuatan KTP, jaminan sosial dan kesehatan, pelayanan transportasi, perizinan, dan sebagainya, perempuan menjadi pihak lemah dan tidak berani memprotes. Jika mendapatkan pelayanan yang buruk, mereka tidak memiliki inisiatif untuk melawan dan kurang mempunyai pressure.

Dari sisi regulasi Arbi juga melihat banyak Perda yang justru mendiskriminasi kaum perempuan. "Sebut saja Perda yang mengatur jam keluar bagi perempuan, mengatur cara berpakaian, cara berkendara, dan banyak lagi," ungkap dia.

Berbagai kondisi ini seharusnya memicu perempuan duduk sebagai komisioner Ombudsman. Arbi menekankan, inilah saatnya panitia seleksi memprioritaskan para calon Komisioner yang perempuan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas