Gizi Buruk dan Gizi Lebih Jadi Tantangan Negara Maju dan Berkembang
Beban gizi buruk dan gizi lebih harus dilihat sebagai tantangan pembangunan.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beban gizi buruk dan gizi lebih harus dilihat sebagai tantangan pembangunan.
Tantangan ini tidak hanya dihadapi oleh negara rentan, namun juga negara berkembang dan bahkan maju.
“Kita tengah menghadapi perubahan besar-besaran dalam populasi dunia. Pada tahun 2050 penduduk dunia diestimasi akan mencapai 8-11 milyar, yang akan menyebabkan kebutuhan pangan yang jauh meningkat," kata
Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek saat forum bertajuk Food Security, Nutrition, and Health: Harnessing Multi-sectoral Partnerships for the Post-2015 Development Agenda” di New York.
Forum ini jadi media berbagi pengalaman dan membangun kemitraan antar negara guna mempertegas upaya menghadapi permasalahan ketahanan pangan, nutrisi, dan kesehatan dalam kerangka Agenda Pembangunan Pasca-2015.
Di sisi lain, sebut Nila dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews, Minggu (27/9/2015), perubahan iklim telah memberikan dampak pengurangan jumlah hasil panen.
Ini akan menjadi sebuah tantangan besar untuk ketahanan pangan, nutrisi, dan kesehatan, terutama untuk kelompok rentan.
Ertharin Cousin, Executive Director World Food Programme menyatakan, meski pertumbuhan ekonomi terus terjadi, kasus seperti stunting masih menjadi permasalahan besar untuk sebagian besar negara di dunia.
Gizi kurang masih menjadi permasalahan besar kesehatan masyarakat di abad ke-21 ini.
Data WHO mencatat bahwa terdapat 162 juta balita penderita stunting di seluruh dunia, dimana 56% berasal dari Asia.
Indonesia bahkan termasuk dalam lima besar negara dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia-Afrika.
Meera Shekar, moderator forum mengingatkan begitu sel otak terganggu karena kekurangan gizi, maka potensi sumber daya manusia itu akan selamanya mengalami kekurangan.
Ertharin menegaskan pentingnya untuk memahami kandungan gizi dalam makanan.
“Pendapat umum adalah makanan yang bergizi adalah makanan mahal. Memastikan bahwa harga bahan makanan yang bergizi terjangkau untuk semua belum cukup. Perlu dipastikan juga bahwa masyarakat memiliki pengetahuan mengenai makanan yang bergizi” ujarnya.
Senada dengan Ertharin, Shenggen Fan menjelaskan ketahanan pangan dan nutrisi bukan hanya mengenai jumlah bahan makanan yang tersedia, tapi juga kandungan gizi di dalamnya.
"Memperhatikan ketahanan pangan artinya mengubah pola pikir dalam melihat definsi hidup yang sehat dan seimbang," kata dia.
Ini senada dengan pendapat banyak ahli bahwa nutrisi perlu diposisikan dalam sisi demand, dan ketahanan pangan dalam sisi supply, agar kekurangan gizi dapat diatasi secara komprehensif.
Mengingat status gizi dan kesehatan yang buruk diasebabkan oleh berbagai faktor, dan mengakibatkan berbagai dampak, semua aktor dalam agenda pembangunan nasional perlu menanggapi isu ini bersama-sama.
Indonesia telah menginisasi gerakan bersama, menyatukan institusi pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional untuk mempercepat perbaikan nutrisi dibawah Peraturan Presiden no. 42 /2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
Kebijakan ini menekankan konsep mengenai betapa pentingnya 1000 hari pertama kehidupan bagi seseorang.
David Navarro menyampaikan apresiasinya terhadap Indonesia yang mengambil insiatif menyelenggarakan forum ini.
“Sungguh baik bahwa di Indonesia nutrisi dilihat bukan sebagai sektor, tapi multi-sektor. Pendekatan yang diimplementasikan Indonesia dapat menjadi norma yang diadopsi oleh negara-negara lain” ujar David.
Mengangkat pentingnya kemitraan, Nila Moeloek menutup acara dengan menekankan kembali Kemitraan dan kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan vital untuk meningkatkan status gizi masyarakat.
Semua sektor harus menjalankan peran dan tanggung jawabnya.
Agenda Pembangunan Pasca-2015, atau SDGs, mendorong negara-negara dan pelaku pembangunan lainnya untuk menghadapi tantangan dengan ambisius, dan tidak menjalankan business-as-usual.
Ambisi itu pula yang harus dimiliki dalam menghadapi isu nutrisi, jantung dari pembangunan yang berkelanjutan. (Eko Sutriyanto)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.