Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MK Tolak Permohonan Calon Tunggal Vs Kotak Kosong

Majelis hakim memutuskan agar peyelenggara Pilkada melangsungkan pemilihan di daerah yang hanya terdapat satu pasangan Calon.

Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in MK Tolak Permohonan Calon Tunggal Vs Kotak Kosong
Warta Kota/Henry Lopulalan
Hakim Anggota Amin ismanto,Hakim Ketua suhartoyo, dan Hakim Anggota Matius Samiaji, (kiri-kanan) dalam sidang Vonis kasus dugaan korupsi dan proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) dengan tersangka Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo di pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (3/9/2013). Majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp.500 juta subsider enam bulan terkait kasus korupsi dan pencucian uang proyek simulator SIM karena terbukti merugikan negara sebesar Rp.121 miliar dari proyek senilai Rp.200,56 miliar. (Warta Kota/Henry Lopulalan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengabulkan sebagian pasal yang dipersoalkan Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru terkait calon tunggal pilkada.

Majelis hakim memutuskan agar peyelenggara Pilkada melangsungkan pemilihan di daerah yang hanya terdapat satu pasangan Calon.

"Namun, Majelis Hakim Konstitusi tidak sependapat dengan pandangan Pemohon yang meminta Mahkamah untuk memaknai bahwa frasa 'setidaknya dua pasangan calon' atau 'paling sedikit dua pasangan calon' yang terdapat dalam seluruh pasal yang dimohonkan pengujian dapat diterima dalam bentuk atau pengertian, pasangan calon tunggal dengan pasangan calon kotak kosong yang ditampilkan pada Kertas Suara," kata Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Suhartoyo membacakan amar putusan di MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/9/2015).

Majelis Hakim mempertimbangkan begitu karena pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon harus ditempatkan sebagai upaya terakhir. Itu semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara.

Majelis Hakim kemudian berpendapat, bahwa pilkada yang hanya diikuti pasangan calon tunggal, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk menentukan pilihannya dengan mekanisme 'setuju' atau 'tidak setuju' dengan pasangan calon tunggal tersebut.

Bukan dengan pasangan calon kotak kosong sebagaimana dimohonkan Pemohon.

Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'setuju', maka pasangan calon itu ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

Berita Rekomendasi

Tetapi sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'tidak setuju', maka pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.

"Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi, sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara 'tidak setuju' tersebut," kata Suhartoyo.

Mekanisme demikian, menurut majelis hakim, lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan 'menang secara aklamasi' tanpa meminta pendapat rakyat jika pasangan calon tidak memiliki pesaing.

Penekanan terhadap sifat 'demokratis' ini menjadi substansial karena merupakan perintah konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

"Dengan mekanisme (setuju dan tidak setuju) itu, amanat konstitusi yang menuntut pemenuhan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, serta amanat agar pilkada dilaksanakan secara demokratis dapat diwujudkan," kata Suhartoyo.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas