MK Tolak Permohonan Calon Tunggal Vs Kotak Kosong
Majelis hakim memutuskan agar peyelenggara Pilkada melangsungkan pemilihan di daerah yang hanya terdapat satu pasangan Calon.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengabulkan sebagian pasal yang dipersoalkan Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru terkait calon tunggal pilkada.
Majelis hakim memutuskan agar peyelenggara Pilkada melangsungkan pemilihan di daerah yang hanya terdapat satu pasangan Calon.
"Namun, Majelis Hakim Konstitusi tidak sependapat dengan pandangan Pemohon yang meminta Mahkamah untuk memaknai bahwa frasa 'setidaknya dua pasangan calon' atau 'paling sedikit dua pasangan calon' yang terdapat dalam seluruh pasal yang dimohonkan pengujian dapat diterima dalam bentuk atau pengertian, pasangan calon tunggal dengan pasangan calon kotak kosong yang ditampilkan pada Kertas Suara," kata Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Suhartoyo membacakan amar putusan di MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/9/2015).
Majelis Hakim mempertimbangkan begitu karena pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon harus ditempatkan sebagai upaya terakhir. Itu semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara.
Majelis Hakim kemudian berpendapat, bahwa pilkada yang hanya diikuti pasangan calon tunggal, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk menentukan pilihannya dengan mekanisme 'setuju' atau 'tidak setuju' dengan pasangan calon tunggal tersebut.
Bukan dengan pasangan calon kotak kosong sebagaimana dimohonkan Pemohon.
Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'setuju', maka pasangan calon itu ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.
Tetapi sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'tidak setuju', maka pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.
"Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi, sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara 'tidak setuju' tersebut," kata Suhartoyo.
Mekanisme demikian, menurut majelis hakim, lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan 'menang secara aklamasi' tanpa meminta pendapat rakyat jika pasangan calon tidak memiliki pesaing.
Penekanan terhadap sifat 'demokratis' ini menjadi substansial karena merupakan perintah konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
"Dengan mekanisme (setuju dan tidak setuju) itu, amanat konstitusi yang menuntut pemenuhan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, serta amanat agar pilkada dilaksanakan secara demokratis dapat diwujudkan," kata Suhartoyo.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.