Akademisi Sebut Tidak Ada Pelanggaran Hukum yang Dilakukan BW
Pengkajian yang dilakukan sejumlah akademisi, menemukan tidak ada pelanggaran hukum pada kasus saksi palsu, yang diduga dilakukan Bambang Widjojanto.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengkajian yang dilakukan sejumlah akademisi, menemukan tidak ada pelanggaran hukum pada kasus saksi palsu, yang diduga dilakukan oleh komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif, Bambang Widjojanto.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar mengatakan tugas pengacara adalah mengarahkan saksi, agar pernyataannya dapat mendukung kasus yang disidangkan. Yang dilakukan Bambang Widjojanto, bukan lah mengarahkan saksi agar memberikan keterangan palsu.
"Sidang di MK (Mahkamah Konstitusi) itu cuma beberapa hari. Saksi itu banyak, kan musti diarahkan mana keterangan yang relevan. Ini tugas pengacara. Kalau Bambang dipidana, seluruh pengacara bisa dipidana," kata Zaenal Arifin Mochtar, dalam konferensi pers di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Jakarta Selatan, Jumat (2/10/2015).
Advokat seperti Bambang saat beracara di MK pada 2010 lalu, dilindungi oleh Undang-undang nomor 10 tahun 2003, dalam melaksanakan tugasnya.
PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) juga sudah mengeluarkan rekomendasinya pada 15 Maret 2015 lalu. Lembaga tersebut menyatakan bahwa apa yang dilakukan Bambang, bukan lah bentuk pelanggaran.
Ia juga mengingatkan, bahwa dalam putusan pengadilan terhadap Ratna Mutiara dan Zulfahmi Arsyad, nama Bambang Widjojanto sama sekali tidak disebutkan. Padahal menurut Kepolisian, Ratna Mutiara dan Zulfahmi Arsyad adalah pelaku terkait dalam kasus saksi palsu, di sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010 lalu.
Dalam kesempatan yang sama, dosen STHI Jaentera, Bivitri Susanti mengatakan tidak mungkin praktisi hukum seperti Bambang Widjojanto berani merusak hukum. Ia menduga kasus tersebut sengaja didorong walau pun tidak berdasar, hanya untuk kepentingan sejumlah pihak.
"Jangan sampai juga penegak hukum merusak hukum, Itu yang ingin kita tekankan. Ini bukan kasus hukum," ujarnya.
Ia berharap Presiden Joko Widodo mau turun tangan, dengan mendorong pihak Kejaksaan Agung untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SKPP), terhadap kasus Bambang Widjojanto.
"Ini bukan lah dalam bentuk intervensi dalam negara hukum. Kita bicara soal kepemimpinan seorang Presiden. Ini bukan kepentingan yang subjektif, punya konteks penyelamatan negara hukum," jelasnya.
Kelompok akademisi yang mendukung kajian tersebut terdiri dari 67 orang akademisi dari berbagai lembaga. Bivitri menyebut pihaknya sudah mengirimkan hasil kajiannya ke sejumlah orang di lingkungan Istana, dan sempat memaparkan hasil pengkajian itu di depan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Luhut Binsar Panjaitan.