Federasi Pilot Indonesia Menduga Aviastar Jatuh karena Faktor Alam
Vice President Federasi Pilot Indonesia, Capt Ali Nahdi mengungkapkan setidaknya terdapat tiga hal yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak dugaan yang muncul pascajatuhnya pesawat Twin Otter jenis PK-BRM dengan nomor penerbangan MV 7503 di Pegunungan Latimojong, perbatasan Kabupaten Enrekang dan Luwu, Sulawesi Selatan, termasuk dari Federasi Pilot Indonesia.
Vice President Federasi Pilot Indonesia, Capt Ali Nahdi mengungkapkan setidaknya terdapat tiga hal yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat.
Pertama, faktor pilot yang mengendalikan pesawat, kedua, kondisi pesawat dan ketiga faktor alam.
Dalam musibah jatuhnya pesawat Twin Otter yang melakukan perjalanan dari Masamba menuju Makassar, Ali mengatakan berdasarkan rute penerbangan yang dimiliki maskapai Aviastar, kemungkinan besar faktor alam menjadi penyebab utama.
"Kan pesawat harus melewati dua pegunungan dan satu pantai, dalam rute yang ada. Kalau pesawat Twin Otter karena hanya memiliki sistem visual atau pandangan mata saja, bisa saja ada angin kencang yang kemudian menurunkan ketinggian," ujar pilot Garuda Indonesia tersebut saat menyambangi Kantor Aviastar, Jakarta, Selasa (6/10/2015).
Selain itu, dia juga melihat bahwa posisi jatuhnya pesawat yang dikendalikan oleh pilot Roy Irifriadi dan co-pilot Yudhistira Febby tersebut berada di pinggir pegunungan yang tingginya hanya sekitar 7.000 kaki di atas permukaan laut. Sehingga ada kemungkinan, pilot berupaya untuk memutari pegunungan tersebut.
Sementara, mantan pilot Twin Otter, Capt Adi Gunawan mengatakan dengan ringannya bobot pesawat Twin Otter, angin pegunungan dapat menerpa pesawat yang sedang melakukan manuver.
Dia mencontohkan, sebelum menakhodai Twin Otter, dia sempat membawa Boeing 737 untuk mengantar para calon jemaah haji ke Jeddah. Dalam perjalanan, sering terjadi penurunan ketinggian secara tiba-tiba karena faktor cuaca yang tidak dapat diprediksi.
"Memang hal itu biasa dilakukan oleh pilot untuk menghindari objek besar di depan, mereka pasti memutar atau ‘meloncati’ pegunungan dengan manuver langsung dalam posisi menanjak," kata Adi.
Diketahui, Twin Otter yang membawa tujuh penumpang tersebut, hilang kontak pada menit ke 11 setelah take off dan berada di ketinggian 8.000 kaki. Menurut Adi, hal tersebut masih dalam batas kewajaran, karena ketinggian aman maksimal dari Twin Otter hanya mencapai 10.000 kaki di atas permukaan laut.
Melewati ketinggian itu, penumpang dan juga crew harus memakai oksigen yang disediakan, karena berpengaruh dengan tekanan udara.
Namun, menurutnya terdapat tiga hal yang dapat mencegah kecelakaan pesawat terjadi. Pertama, mengenai teknologi dari pesawat dan bandara yang berada di Indonesia. Kedua, regulasi yang dibuat oleh otoritas penerbangan dan ketiga mengenai kualitas pilot yang menerbangkan pesawat. (tribunnews/rio)