Risiko Dijabat Orang Partai, Ini Contoh Benturan Kepentingan Jaksa Agung Dalam Tugasnya
Inilah risiko posisi Jaksa Agung dijabat orang partai. Contoh, pemindahan Tubagus Chaeri Wardana ke Lapas Serang yang beraroma politik.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung kerap kalah dalam sidang praperadilan gugatan kasus tindak pidana korupsi.
Hal itu membuat kinerja bidang pidana khusus Kejaksaan Agung kembali dipertanyakan.
Ditambah lagi keberadaan Satgasus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (P3PTK) tidak optimal dan kinerjanya tak se-euphoria ketika diresmikan.
Aktivis Koalisi Masyarakat Antikorupsi, Ray Rangkuti menuturkan, kinerja Kejaksaan Agung dalam upaya pemberantasan korupsi maupun pencegahannya saat ini sudah melenceng jauh dari program Nawacita Presiden Joko Widodo.
"Jaksa Agung HM Prasetyo serta Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus telah gagal mengimplementasikan visi misi nawacita Presiden Jokowi dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Kinerja Kejagung bisa dikatakan makin 'mandul'," kata Ray melalui pesan singkatnya, Rabu (7/10/2015).
Ray menuturkan, kemandulan itu terbukti masih banyaknya kasus korupsi kelas kakap yang sepertinya dibiarkan oleh Kejagung.
Menurutnya, merosotnya kinerja Kejaksaan Agung adalah mulai tidak transparansinya dalam keterbukaan informasi publik penanganan kasus, internal kepemimpinan yang tidak berkualitas.
Tak hanya itu, faktor Jaksa Agung yang merupakan politikus Nasdem juga turut andil menyumbangkan kemerosotan kinerja Kejagung. Dirinya menilai, konflik kepentingan politik jelas ada di dalam jabatan Jaksa Agung saat ini.
"Contoh, pemindahan Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan ke Lapas Serang yang beraroma politik, dimana istri Wawan yakni Airin merupakan Calon Kepala Daerah yang diusung Nasdem. Pasti ada keterkaitannya. Lalu beberapa kasus yang menyangkut kepala daerah juga dihentikan sementara jelang Pilkada 2015. Ini kemunduran besar Kejaksaan," paparnya.
Dirinya juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih ratusan atau bahkan ribuan kasus korupsi kakap yang mandeg ditangani Kejagung. Dimulai dari audit evaluasi kinerja Satgassus P3PTK yang masih dibawah standar, lalu KPK bisa ambil alih kasus korupsi kakap yang mandeg.
"Yang saya herankan adalah, jaksa di Satgassus itu kan diklaim jaksa terbaik dan ada yang lulusan KPK, tapi kok kinerjanya tidak produktif seperti waktu di KPK," katanya.
Kinerja jaksa di bidang Pidsus kata Ray juga tak lepas dari proses rekrutmen dan pengembangan karir yang gagal dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan (Jambin).
"Nah Presiden Jokowi setidaknya harus melakukan revolusi mental secara besar-besaran di Kejagung jika tak ingin program nawacita pemberantasan korupsinya mandeg ditengah jalan. Audit kinerja Jambin, Jampidsus dan Jaksa Agung. Kalau perlu Eselon I Kejagung diaudit dan dievaluasi kinerjanya," terangnya.
Disamping itu, kata Ray, dirinya mempertanyakan rencana strategis Kejaksaan 2015-2019 dimana di Renstra Kejaksaan untuk 2015-2019, tidak ada target untuk melakukan upaya penyelesaian tunggakan PNBP.
"Apa masih bisa dikatakan Kejaksaan mendukung pemerintahan Jokowi dalam memperbaiki perekonomian Indonesia. Target pengembalian tunggakan PNBP dan aset hasil korupsi saja tidak jelas," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.