Perempuan Indonesia Minta Presiden Hentikan Kasus BW
Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA) meminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan jalannya kasus hukum BW
Penulis: Valdy Arief
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA) meminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan jalannya kasus hukum yang menjerat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bambang Widjojanto (BW).
Aliansi masyarakat yang di dalamnya tergabung Anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK, Betty Alisjahbana; Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah; Pengacara BW, Lelyana Santosa; dan aktivis perempuan, Tri Mumpuni bersama 123 perempuan lain dari berbagai profesi.
"Kami menyimpulkan masalah hukum Pak BW adalah sesuatu yang dipaksakan dan terkait langkah BW perangi korupsi sebagai Pimpinan KPK," kata Betty Alisjahbana dalam konferensi pers di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (12/10/2015).
Kuasa hukum BW, Lelyana Santosa menyebutkan seharusnya Presiden Joko Widodo mengambil langkah seperti yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono saat terjadi upaya kriminalisasi pimpinan KPK terdahulu, Chndra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
"Kami harap Bapak Jokowi tidak perlu ragu karena preseden sebelumnya pada kasus Bibit-Chandra. Kita tidak boleh buang-buang waktu karena waktunya sangat singkat," kata Lelyana Santosa pada kesempatan yang sama.
Lelyana menyebutkan selama mendampingi klienya, banyak kesan kasus tuduhan mengarahkan kesaksian palsu kepada BW dipaksakan. "Secara teknis tidak penuhi persyaratan, pasal yang dikenakan selalu berubah," katanya.
Betti menambahkan dugaan mengarahkan kesaksian palsu yang dikenakan pada BW terjadi saat Pimpinan KPK nonaktif itu masih menjadi pengacara. Dia menilai seharusnya sebagai advokat, dirinya tidak bisa dituntut. "Peradi sudah periksa dan sampaikan surat, tidak ada pelanggaran," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah menyebutkan korupsi di Indonesia memberikan efek buruk yang signifikan bagi perempuan. "Angka kematian ibu, perlindungan terhadap perempuan, dan akses perempuan ke pendidikan semakin memburuk karena korupsi," katanya.
Anis mengkhawatirkan, upaya kriminalisasi BW jika tidak dihentikan akan berdampak buruk pada pemberantasan korupsi dan menjadikan perempuan sebagai korban.
Menurut Betti, surat permintaan yang ditandatangi 123 perempuan dari seluruh Indonesia ini akan segera disampaikan ke presiden agar perkara kasus dugaan mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu pada sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah di Mahkamah Konstitusi pada 2013, yang disangkakan pada BW cepat dihentikan.