Cegah Kebakaran Hutan, Lahan yang Sudah Terbakar Jangan Dijadikan APL
Cara lainnya, perusahaan mendapatkan izin dahulu. Setelah mendapat izin, pembukaan lahan dilakukan dengan tetap dibakar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Areal atau lahan yang sudah terbakar seharusnya dilarang untuk dijadikan APL (Areal Peruntukkan Lain).
Untuk itu, pemerintah harus menetapkan lahan gambut yang terbakar menjadi areal terlarang untuk dimanfaatkan alias dijadikan areal peruntukan lain (APL).
Dengan pendekatan seperti ini, insentif pembakaran hutan untuk membuka lahan menjadi hilang.
“Sebenarnya aturannya sudah jelas bahwa lahan gambut yang lebih dari 3 meter tidak boleh dibudidayakan karena akan menjadi sangat kering dengan ada nya elnino yang sering saat ini sehingga mudah terbakar. Hutan yang sudah kritis logisnya ya dipulihkan, bukan dipaksa agar jadi produktif,” kata Peneliti World Resources Institute (WRI) Indonesia Andika Putraditama dalam pernyataannya, Selasa(20/10/2015).
Selama ini salah modus mengubah hutan menjadi areal peruntukkan lain adalah dengan cara dirusak dan atau dianeksasi menjadi permukiman.
Dengan begitu, izin APL lebih mudah didapat.
Cara lainnya, perusahaan mendapatkan izin dahulu. Setelah mendapat izin, pembukaan lahan dilakukan dengan tetap dibakar.
“Pemerintah harus serius untuk menerapkan aturan yang sudah ada sehingga akal-akal perusahaan bisa dideteksi,”ujarnya.
Meski demikian, efektivitas pelarangan hutan yang terbakar menjadi APL ini hanya efektif jika ada data hutan yang akurat dan terus diperbaharui.
Ini diakui tidak mudah karena data dan kondisi hutan antarinstansi cenderung berbeda-beda.
Tapi, dengan adanya penggabungan kehutanan dan lingkungan dalam satu kementerian, penyesuaian data harusnya lebih mudah dilakukan.
“Pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah perbaikan data. Baik dari bio fisik sampai data yang sifatnya legal misalnya batas konsesi perusahaan seperti apa dan status seperti apa. Jadi harus ada satu pangkalan data. Kalau data itu sifatnya konsumsi publik maka data ini harus bisa diakses publik agar pengawasannya bisa dilakukan berbagai pihak,” tambah Andika.
Terhadap hutan yang sudah diubah menjadi APL, perlu dilakukan penyesuaian peta lahan.
Sebab, kerap kali peta lahan konsesi yang diakui perusahaan lebih kecil dari peta aktual sesuai izin yang diberikan.
Penyebabnya antara lain perusahaan belum bisa membebaskan lahan atau juga lahan tersebut masih menjadi obyek sengketa agraria dengan masyarakat atau pihak lain.
Sementara itu, Peneliti gambut Universitas Riau, Haris Gunawan menegaskan saat ini hutan atau lahan yang belum tergarap sangat rentan mengalami kebakaran dengan adanya elnino yang berkepanjangan.
Lahan gambut di wilayah Sumatera dan Kalimantan kini mudah terbakar karena maraknya konversi lahan.
Bentang alam gambut berubah. Area gambut dengan biodiversitas beragam dan basah disulap menjadi area perkebunan dengan satu jenis tanaman dan dikanalisasi untuk mendukung budidaya.
Akibatnya, gambut kering dan mudah terbakar.
Untuk itu, solusi jangka pendeknya, areal konsesi yang bermasalah sebaiknya ditangguhkan pemanfaatannya selama jangka waktu tertentu.
Jika hendak memanfaatkan, perusahaan harus melaporkan terlebih dahulu sebelum diolah.
“Jadi, kalau mereka membakar, sangat mudah untuk diketahui atau dibuktikan. Sebaliknya, jika terkena pembakaran, juga tidak bisa dimanfaatkan karena terkena aturan tadi, harus dipulihkan. Kebakaran hutan yang telah berlangsung selama dua minggu terakhir harus sekali lagi menjadi momentum memperbaiki tata kelola hutan dan gambut,” kata Haris.
Untuk lahan perkebunan produktif yang kini terbakar, pemerintah dapat meminta korporasi melakukan pemulihan. Bentuknya dengan menanam tanaman tidak sejenis dari yang sudah ada.
Tujuannya lebih ke konservasi. Dengan cara ini, perusahaan akan lebih serius dan lebih aktif mencegah terjadinya kebakaran lahan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.