Bentrokan Singkil Bukan Bentuk Intoleransi
Bentrok berbau suku ras dan agama (sara) yang terjadi di Singkil bukan bentuk intoleransi masyarakat.
Editor: Rachmat Hidayat
Laporan wartawan Serambi Indonesia, Fikar W Eda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bentrok berbau suku ras dan agama (sara) yang terjadi di Singkil bukan bentuk intoleransi masyarakat.
Melainkan akibat lemahnya kinerja Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, yang lamban menertibkan maraknya pembangunan rumah ibadah tanpa ijin di daerah itu.
Hal itu dikatakan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Fadjri Alihar dalam diskusi di Pusat Penelutian Kependudukan LIPI, Jakarta, Senin (26/10/2015) lalu.
Dua pembicara lainnya adalah Pendeta Penrad Siagian dari Persekutuan Gereja Indonesia dan Amin Mudzakir, Tim Peneliti Unggulan LIPI.
"Secara sosiologis, masyarakat Singkil merupakan masyarakat pluralis dan religius. Masyarakat Singkil terbiasa hidup berdampingan dengan komunitas masyarakat lain yang berbeda keyakinan. Hidup rukun tanpa gesekan karena satu rumpun," kata Fadjri Alihar.
Romantika harmoni itu, menurut Fadjri Alihar dirusak oleh prilaku Pemkab Aceh Singkil yang masa bodoh.
"Bentrokan berdarah yang terjadi pada 13 Oktober merupakan bukti kelalaian Pemda Singkil yang tidak hadir di tengah-tengah masyarakat. Padahal kalau Pemkab segera merespon keresahan masyarakat selama ini, kemungkinan ceritanya mebjadi lain," kata Fadjri yang menyelesaikan program doktor di Jerman.
Fadjri menegaskan pencopotan Kapolres Singkil terasa tidak adil mengingat bentrokan terjadi akibat kelalaian Pemkab Singkil. "Peristiwa serupa berpotensi terjadi kembali jika Mendagri tidak memberikan sanksi tegas kepada bupati dan wakil bupati," demikian Fadjri.
Pendeta Penrad Siagian berpandangan sebaliknya. Peristiwa Singkil tidak terlepas dari adanya massa intoleransi, di samping faktor-faktor lainnya.
Ia menyebetukan persoalan Singkil harus diselesaikan di Jakarta dengan mengikut sertakan Pemerintah Pusat dan komunitas keagamaan, sepeeti NU dan PGI dan kain-lain.
Apabila penyelesaian di daerah, Pernard mengatakan akan sama saja, sebab sejak 1961 pola penyelesaiannya sama.
Ia juga menyarankan agar melakukan revisi tentang sebahagian isi dari Peraturan Bersama Menteri(PBM) No. 8 dan No. 9 Tahun 2006.
Ketua Pakpak Centre di Jakarta, Ana Martina Sinamo minta penyelesaian Singkil dilakukan dengan cara budaya. "Kami masyarakat Pakpak adalah penduduk Singkil juga.
Ada yang berahama Kristen juga ada yang muslim. Selams ini kami hidup damai di sana," katanya saat memberi tanggapan. Ia menuding persoalan ekonomi yang melatari kerusuhan di Singkil.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.