Pansus Pelindo II Harus Bisa Batalkan Konsesi Perpanjangan JICT
Pansus Pelindo II harus membatalkan perpanjangan konsesi JICT
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pansus Pelindo II harus membatalkan perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) karena keputusan perpanjangan tersebut dianggap melanggar Undang-undang dan merugikan negara.
Pansus juga diharapkan dapat mengembalikan kepemilikan saham 100 dimiliki oleh negara, yang sepenuhnya dikelola oleh anak bangsa.
Pansus juga harus menusut tuntas indikasi pelangaran pidana dan potensi suap di balik keputusan sepihak perpanjangan JICT serta harus harus menemukan adannya pihak-pihak yang membekingi keputusan perpanjangan JICT.
Demikian disampaikan peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajdah Mada (UGM), Fahmi Radhy, Rabu, (4/11/2015). "Pansus juga harus menemukan pihak-pihak, yang secara langsung maupun tidak langsung yang menghalangi proses pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh Bareskrim," ujar Fahmi .
Menurut Fahmi, keputusan RJ Lino memperpanjang konsesi diputuskan sepihak, berpotensi merugikan Negara. Perpanjangan JICT merugikan negara karena nilainya 215 juta dolar AS, lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesaaar 231 juta dolar AS.
Jika tidak diperpanjang dan 100 persen saham dimiliki Pelindo II, lanjutnya, maka negara akan memperoleh potensi pendapatan sekitar Rp 30 triliun per tahun dengan perpanjangan tersebut.
Selain itu, lanjutnya, perpanjangan JICT dilakukan melalui Kontrak Tertutup sehingga melanggar prinsip transparansi, sehingga tidak dimungkinkan tercapainya harga optimal dan berpotensi adanya suap dibalik keputusan perpanjangan kontrak tersebut.
Keputusan sepihak RJ Lino memperpanjang kontrak kontrak JICT juga tanpa persetujuan Dewan Komisaris melanggar mekanisme pengambilkeputusan BUMN.
"Perpanjangan JICT mengabaikan rekomendasi Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menilai perpanjangan kontrak sangat berisiko dan merugikan negara," tegas Fahmi.
Selain itu, lanjut Fahmi, perpanjangan JICT juga berpotensi melanggar UU. Perpanjangan konsesi JICT dilakukan pada 2014, lima tahun sebelum kontrak berakhir pada 2019 melanggar melanggar pasal 27 peraturan Menteri BUMN.
Hal ini juga dianggapnya melanggar UU 17/2008 tentang Pelayaran, serta melanggar persyaratan pendahuluan tentang persetujuan dari Menteri BUMN dan atau perizinan dari instansi pemerintah lain, seperti diatur dalam Pasal 82 UU 17/2008 tentang Pelayaran
"Langkah ini juga melanggar Keputusan Menteri Perhubungan selaku OP yang memutuskan kontrak konsesi yang sudah habis agar tidak lagi dikerjasamakan dengan asing, tetapi dikelola oleh anak bangsa secara mandiri, serta mengabaikan Rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam suratnya no LAP697/D502/2/2012 mengatakan bahwa perpanjangan konsesi itu berpotensi merugikan negara," ujar Fahmi.