Cegah Ancaman Aksi Teroris, BNPT Siapkan SOP Pengawasan Wilayah Perbatasan
pengawasan wilayah perbatasan dari ancaman terorisme adalah salah satu bagian dari upaya BNPT dalam melakukan pencegahan terorisme
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ancaman terorisme telah menjadi perhatian utama pemerintah dalam melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk itu, sebagai lembaga yang bertugas mengkoordinir masalah pencegahan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tengah menyiapkan Standard Operasional Prosedur (SOP) pengawasan wilayah perbatasan dari ancaman terorisme.
“BNPT menyadari bahwa masing-masing instansi aparat keamanan dan stakeholders wilayah perbatasan telah memiliki aturan dan SOP tersendiri dalam pengamanan dan pengawasan ancaman terorisme. Namun, kami memandang bahwa strategi pengawasan perbatasan yang ada saat ini belum menyeluruh dan lintas sektoral. Atas dasar itulah, kami dari BNPT membuat SOP pengawasan wilayah perbatasan ini untuk untuk mensinergikan seluruh stakeholders untuk bersama melakukan pengawasan wilayah perbatasan sesuai amanat UU yang menempatkan BNPT sebagai lembaga Koordinatif dalam pencegahan aksi terorisme,” kata Kepala BNPT Komjen Pol Drs Saud Usman Nasution dalam pernyataannya, di Jakarta, Kamis(12/11/2015).
Menurut Saud Usman, pengawasan wilayah perbatasan dari ancaman terorisme adalah salah satu bagian dari upaya BNPT dalam melakukan pencegahan terorisme.
Ia berharap dengan adanya SOP ini pencegahan terorisme di Indonesia semakin masif seperti yang telah dilakukan melalui dialog, workshop, dan pencanangan tahun damai di dunia maya.
Ia melanjutkan bahwa dalam urusan terorisme, Indonesia pernah merasakan dampak langsung akibat lemahnya sistem pengawasan di wilayah ini.
Pergerakan organisasi teroris transnasional di beberapa tahun silam, seperti yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah, bertumpu pada wilayah perbatasan ini.
Bahkan sejumlah gembong teroris seperti seperti Azahari dan Noordin Top terbukti menggerakkan kelompoknya melewati perbatasan Filipina-Malasyia-Indonesia.
Pergerakan kelompok teroris di wilayah ini tidak terbatas hanya pada penyelundupan para pelaku teroris saja, melainkan juga penyelundupan senjata yang digunakan untuk kegiatan terorisme.
Komjen Saud mengungkapkan bahwa masuknya para pelaku terorisme ke Indonesia lewat dan memanfaatkan lemahnya sistem pengawasan perbatasan bukan sekedar isapan jempol.
Sejumlah mantan anggota jaringan terorisme pun telah membenarkan teori ini. Mereka mengaku menggunakan jalur perbatasan yang lemah untuk menyelundup masuk ke Indonesia.
"Kita harus perbaiki sistem pengawasan perbatasan kita, jangan sampai Indonesia ‘kecolongan’ lagi soal terorisme ini. Semua kita lakukan demi keamanan nasional negara kita” ujarnya.
Sebelumnya, Brigjen Pol Rudi Hulisalen, yang juga Anggota BAIS mengingatkan agar para stakeholders di wilayah perbatasan selalu menaikkan kerjasama dan menghilangkan ego sektoral masing-masing.
Pengalaman di lapangan membuktikan bahwa minimnya sinergitas dan koordinasi antar stakeholders perbatasan merupakan penyebab utama lemahnya pengawasan wilayah perbatasan.
"Selama ego sektoral masih ada, terorisme masih dengan sangat mudah keluar masuk wilayah perbatasan Indonesia, BNPT lah yang sekarang bertugas untuk mengkoordinasikan sejumlah stakeholders di perbatasan,” jelas Brigjen Rudi.
Karena itu, ia mengapresiasi langkah BNPT menggelar sejumlah rangkaian kegiatan koordinatif yang berupaya mensinergikan antar stakeholders di wilayah perbatasan. Dia menilai langkah BNPT tersebut sangat tepat dan sesuai dengan amanat Undang-undang.
Dari kegiatan seminar itu, terungkap bahwa dari sejumlah data intelijen bahwa kelompok teroris masih terus bergerak dan menyiapkan kekacauan di Indonesia.
Mereka disinyalir tenah mengkonsolidasikan kekuatan untuk ‘berjihad’ di dalam negeri ataupun di luar negeri. Jihad dalam negeri berbentuk aksi terorisme di tanah air sebagaimana pernah terjadi di sekitar dua dekade belakangan ini.
Gerakan mereka juga sudah pada tahap penyelundupan senjata api dan bahan peledak. Sementara aksi terorisme di luar negeri terwujud dalam upaya pengiriman sejumlah WNI untuk berperang di wilayah konflik di Timur Tengah atau di Filipina Selatan.