Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kronologi Jatuhnya Pesawat AirAsia QZ8501 Tujuan Singapura

Di ketinggian itu, pesawat kembali berguling mencapai sudut 104 derajat.

Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Kronologi Jatuhnya Pesawat AirAsia QZ8501 Tujuan Singapura
Kompas.com
Ekor pesawat AirAsia QZ8501 yang berhasil diangkat ke kapal Crest Onyx untuk selanjutnya dibawa ke Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Sabtu (10/1/2015). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi terhadap kotak hitam milik pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di perairan dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada 28 Desember 2014.

Menurut KNKT, terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab kecelakaan.

Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, Ketua Tim Investigasi KNKT Mardjono Siswo Suwarno dan Ketua Sub Komite Kecelakaan Pesawat Udara KNKT Kapten Nurcahyo Utomo, memberikan penjelasan terkait kronologi jatuhnya pesawat.

"Ini adalah rangkaian, mulai dari rusak, penanganannya bagaimana, setelah penanganan akibatnya apa, dan bagaimana pilotnya menanganinya," ujar Nurcahyo, di Gedung KNKT, Jakarta Pusat, Selasa (1/12/2015).

Pesawat yang membawa 156 penumpang tersebut lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya, pada pukul 05.35, menuju Changi Airport, Singapura.

Pesawat terbang dengan ketinggian 32 ribu kaki, dan dijadwalkan tiba di Singapura pada pukul 08.36 waktu setempat.

Pada pukul 06.01 WIB, pilot mendeteksi adanya gangguan melalui tanda peringatan. Gangguan tersebut terjadi pada sistem Rudder Travel Limiter (RTL) yang terletak di bagian ekor pesawat.

Berita Rekomendasi

Pilot kemudian mengatasi gangguan itu dengan mengikuti prosedur dalam Electronic Centralized Aircraft Monitoring (ECAM).

Selanjutnya, gangguan yang sama muncul pada pukul 06.09, sehingga pilot melakukan tindakan sesuai prosedur yang sama.

Kemudian, gangguan pada bagian yang sama dan tanda peringatan yang serupa terjadi kembali 4 menit setelah gangguan kedua.

Saat itu, pilot kembali melakukan prosedur sesuai ECAM. Namun, 2 menit setelahnya masalah pada bagian yang sama kembali timbul.

Meski demikian, pada gangguan keempat tersebut, menurut Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, pilot mengubah tindakan dengan tidak sesuai dengan prosedur ECAM.

Masalah yang terjadi ternyata berbeda pada 3 gangguan sebelumnya.

Soerjanto mengatakan, gangguan keempat tersebut pernah terjadi dan dialami pilot QZ8501, pada 25 Desember 2014 di Bandara Juanda.

Saat itu, Circuit Breaker (CB) pada Flight Augmentation Computer (FAC) direset oleh teknisi pesawat.

Investigator KNKT menduga penanganan berbeda saat gangguan keempat tersebut dilakukan pilot setelah mengingat apa yang dilakukan teknisi pada 25 Desember, atau beberapa hari sebelum penerbangan menuju Singapura.

Kemungkinan pilot QZ8501 melakukan reset ulang CB untuk mengatasi gangguan pada RTL. Hal tersebut ternyata menonaktifkan Flight Augmentation Computer (FAC) 1 dan 2.

Setelah kedua komputer tidak aktif, kendali pesawat berganti dari Normal Law ke Alternate Law.

Dengan kata lain, kendali penerbangan tidak lagi auto-pilot, tetapi dilakukan secara manual.

Hilang kendali

Dalam kondisi tersebut, menurut Nurcahyo, pesawat berguling sejauh 6 derajat per detik. Padahal, normalnya pesawat berbelok hanya sebesar 2 atau 3 derajat per detik.

Hal itu akibat adanya kerusakan pada RTL yang merupakan salah satu alat pengendali kemudi pesawat.

Setelah 9 detik tidak ada kemudi, badan pesawat berguling sejauh 54 derajat.

Kemudian, pesawat yang berguling relatif bisa dikendalikan, setelah ada input yang membuat pesawat kembali ke posisi normal.

Meski kembali kepada posisi normal, hidung pesawat ternyata semakin mengarah ke atas dan pesawat menanjak secara ekstrim dengan kecepatan 11 ribu kaki per menit, dari 32 ribu kaki ke 38 ribu kaki.

Di ketinggian itu, pesawat kembali berguling mencapai sudut 104 derajat.

Dalam kondisi tersebut pesawat mengalami upset condition dan stall, di mana pesawat kehilangan daya angkat, dengan kecepatan terendah mencapai 57 knot.

Dalam kondisi stall dan kemiringan mencapai 104 derajat, pesawat turun hingga 29 ribu kaki.

Di ketinggian tersebut, badan pesawat kembali dalam posisi normal, namun di luar kendali pilot hingga terjun ke laut.

"Pesawat kehilangan daya angkat, tetapi mampu kembali dalam posisi stabil. Jadi sampai turun ke laut, seolah-olah dalam kondisi normal (seperti melakukan pendaratan)," kata Soerjanto.(Abba Gabrillin)

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas