Dalam Rekaman 'Papa Minta Saham' Setya Novanto dan Riza Chalid Keluhkan Jokowi
Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha minyak Riza Chalid mengeluhkan sulitnya berbisnis di era Presiden Joko Widodo.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha minyak Riza Chalid mengeluhkan sulitnya berbisnis di era Presiden Joko Widodo.
Hal ini disampaikan Novanto dan Riza saat bertemu dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin di sebuah hotel di kawasan Pacific Place, Jakarta, 8 Juni 2015 lalu.
Rekaman percakapan itu diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/12/2015).
Dalam rekaman itu terungkap, awalnya, Riza sempat menyinggung bagaimana upayanya mendamaikan Koalisi Merah Putih dengan Jokowi-JK.
Riza mengaku tak mau iklim bisnis rusak karena situasi politik yang tak menentu. Namun rupanya upaya mendamaikan itu belum cukup.
Sebab, dia menilai, sikap dan kebijakan yang diambil Jokowi nyatanya tak mendukung bisnis berjalan dengan baik, misalnya dalam hal pajak.
Dalam percakapan itu, mereka justru lebih memilih Jusuf Kalla yang menjadi Presiden dibanding Jokowi.
Berikut kutipan percakapan tersebut:
MR (Muhammad Riza Chalid): Kalau negara aman kita punya jalan. Tapi kalau ribut terus di parlemen, pusing kepala. Bayangin sudah kurang aman negara, ekonominya ancur.
SN (Setya Novanto): Kesalahan menteri-menterinya juga.
MR: Ya presiden juga andil.
SN: Ya kita harus jujur
MR: Kalau Pak JK Presiden...
SN: Wah terbang kita.
MR: Atau dia pasrahin Pak JK urus ekonomi saja, saya pergi dah blusukan. Pak JK urus saja ekonomi
SN: Ya tapi sekarang sudah dibatasin terus Presiden
MR: Obyektif ya Pak, kita pengin ada growth, bisnis kita jalan, semua orang gitu kan. Gaji lancar pajaknya enggak gila-gilaan. Pajaknya gila Pak. Pajaknya dahsyat Pak.
MS (Maroef Sjamsoeddin): Semua macam-macam dipajakin ya
SN: Hancur
MR: Iya.
SN: Mobil jeblok, orang beli gak bisa. Perbankan gak mau lagi, hancur.
MR: Kalau Freeport mah gak ada kaitannya sama ini. Kalau saya ada ritel, saya punya airlines, hancur berdarah. Rupiahnya jelek marketnya drop. Saya ada perusahaan ritel, saya punya toko-toko orang perempuan di mall-mal, gubrak, waduh gila pak. Bagaimana nasibnya. Perkebunan sawit juga jeblok perusahannya. Gimana pula
SN: Gak ada uang
MR: Gak ada uang. Rakyat udah gak ada uang. Gak ada demand, drop.
MS: Itu konsep PP 15 untuk sawit gak jalan Pak? Padahal itu konsepnya presiden untuk CPO
MR: Hancur Pak, hancur Pak SN: Presiden itu senang meresmikan meresmikan. Tapi sekarang gak jalan. Sekarang dia serahin ke Pak Jusuf Kalla. Saya ketemu Pak Jusuf Kalla. Jusuf Kalla bilang wah ini banyak yang gak jalan. Saya bilang jangan meresmikan terus
MR: Kalau Pak JK itu pengusaha.
SN: Bagus itu Pak
MS: Dia bisa menghitung
MR: Bagus, Pak. Dia bisa mengcreate. Kalau tahu sekarang kita lagi berdarah. Dia gak mungkin menghindari, dia tidak akan diam. Dia akan cari akal. Jokowi mana mau ketemu kita. Allah
SN: Ini kaya PSSI babak belur.
MS: Kita kan sponsor Persipura. Bubar, Pak. Pada ngirim surat mau membubarkan. Kasihan Persipura.
MR: Pemain bola itu kalau dia gak main dua bulan, otot-ototnya rusak semua.
MS: Drop semua. Sakit semua. Sakit jantung semua, Pak.
SN: Kembali itu, Pak. Pak Luhut ditakutin, enggak bisa enggak.
MR: Sebetulnya lepas dari apa pun, nasibnya jelek. Jujur saja ya Pak, nasibnya jelek sebagai bangsa Indonesia. Mendingan karena Jokowi tapi kita kan berdarah. Masak musuhan itu kan gilaaa. Aduuhhh… Ampuuunnn ampuunnn.
SN: Ampuun (Ihsanuddin)