Kehormatan yang Divoting
Mereka terdiri dari mantan hakim senior, unsur perguruan tinggi yang tak terlibat dalam kegiatan parpol.
Editor: Hasanudin Aco
Kehormatan anggota DPR
Lalu bagaimana hubungan timbal balik kehormatan anggota DPR yang notabene dipanggil sebagai anggota yang terhormat?
Pengabdian dan kepercayaan kepada siapa, oleh siapa, dan ukuran prestasi seperti apa yang dapat membuat mereka berhak mendapat kehormatan dan perilaku seperti apa yang dapat membuat kehormatannya hilang?
Sama halnya dengan profesi lain, keanggotaan DPR juga memiliki kehormatan, baik bersifat vertikal maupun horizontal.
Secara politik, membela kehormatan rekan separtai atau menghormati pimpinan partainya merupakan kewajiban, tetapi ini kehormatan subyektif. Sementara kepada rakyat yang mereka wakili, kehormatan anggota DPR lebih bersifat abstrak.
Tak ada ukuran atau wujud yang bisa dipegang/diukur. Lebih banyak diakibatkan dari perilaku anggota Dewan yang bisa memengaruhi timbul dan tenggelamnya kepercayaan rakyat.
Dalam kasus pelanggaran etika atau perilaku yang dibawa ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) ada baiknya kita melihat dari sudut pandang berikut.
Pertama, kehormatan vertikal. Anggota MKD yang berasal dari satu partai dengan anggota DPR terlapor akan memiliki sifat subyektif atau wajib membela kolega atau pimpinannya dari partai yang sama.
Dengan kata lain, peradilan oleh MKD dengan kehadiran hakim yang merupakan kolega satu partai dengan anggota DPR terlapor, sia-sia dan mubazir.
Kedua, kehormatan horizontal. Hubungan anggota DPR terlapor dengan rakyat yang memilihnya tak dapat dinilai atau diukur oleh MKD tanpa melibatkan rakyat pemilih atau konstituen anggota DPR terlapor.
Karena itu, penilaian terhadap apakah rakyat telah terluka hatinya atau merasa dikhianati oleh perilaku anggota DPR terlapor tidak dapat diwakili oleh siapa pun kecuali rakyat yang berkepentingan.
Ketiga, tata kelola yang baik (good governance). Ini untuk menilai apakah ada pelanggaran etika atau pengkhianatan terhadap sumpah anggota DPR, berdasarkan prinsip good governance, harus dibuat Majelis Kehormatan yang independen.
Tak boleh ada hakim dari unsur anggota DPR, baik dari partai yang sama dengan anggota terlapor ataupun dari partai berbeda, karena keduanya akan dipengaruhi agenda politik masing-masing.
Oleh karena itu, jika hakim diambil dari anggota DPR, kita tak perlu kaget jika keputusan MKD dilakukan dengan metode voting ketimbang mencari kebenaran dan menegakkan kehormatan DPR sebagai lembaga tinggi negara. Jika kehormatan ditentukan melalui mekanisme voting, definisi kehormatan tersebut jadi subyektif.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.